Penjajahan dan Gerakan Kemerdekaan Indonesia

Pra Kemerdekaan
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang
tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.

Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.

VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.

Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.

Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.

Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.

Pendudukan Jepang
Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.

Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Proklamasi kemerdekaan
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.

Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.

Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949, setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.

Epistimologi Nasionalisme

KETIKA Albert Einstein dinobatkan sebagai The Man of the Century oleh majalah Time edisi 31 Desember 1999, publik mungkin tidak terlalu heran. Sejarah abad ke-20 memang banyak dipengaruhi oleh pencapaian-pencapaian dalam sains, khususnya fisika modern, sebagai bentuk pencarian manusia atas hakikat alam. Abad ke-20 bukan hanya abad sains, tetapi juga abad nasionalisme. Periode akhir dari milenium kedua ini diwarnai oleh dua perang dunia yang menelan korban jutaan jiwa serta kerugian ekonomi dan sosial yang luar biasa akibat pertentangan antarkelompok manusia yang dibatasi oleh sebuah konsep bernama bangsa, nation, yang ditopang oleh ideologi nasionalisme.

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya Perang Dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Sebaliknya, narasi-narasi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat (khususnya pascatragedi WTC), Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti India, China, Brasil, dan Indonesia.
Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang).
Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah politi bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan alasan yang sama, dua bapak ilmu sosial-Karl Marx dan Emile Durkheim-tidak menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.
Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah mengingat, seperti yang dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan nasionalisme.
Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda. Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam paradigma pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen. Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan fenomena di sekelilingnya.
Membangun epistemologi nasionalisme berawal dari dua pertanyaan fundamental. Pada titik sejarah mana fenomena nasionalisme muncul dan apa yang menjadi materi dasar pembentuknya? Satu pendekatan yang digunakan beberapa sarjana menjawab pertanyaan ini adalah dengan melacak jejak-jejak etnik suatu bangsa ke masa sebelum nasionalisme berbentuk seperti sekarang.
Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang. Implikasi titik pandang ini adalah bahwa nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.
Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.
Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.
SEBAGAI sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.
Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan.
Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000).
Dalam bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan Eropa (Partha Chatterjee, 1993).
Secara esensial nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Kategorisasi ini mungkin kedengaran terlalu sederhana, walaupun Plamenatz cukup layak didengar. Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, mereka beruntung karena budaya mereka memungkinkan mereka menciptakan sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas. Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur, dalam hal ini masyarakat pascakolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi, dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga menolak dominasi Barat.
Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda dari Barat.
Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur. Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.
ORIENTASI spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang problematis dengan klaim Soekarno di atas. Pertama, masa penjajahan 350 tahun adalah sebuah mitos (Onghokham, 2003). Mitos ini menjadi strategi retorika untuk membakar sentimen anti-Belanda saat itu. Kedua dan yang lebih penting, apakah Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous? Dalam pidato Soekarno terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis.
Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pengamatan ini adalah bahwa penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pascakolonial menjadi problematis ketika dipakai untuk mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Problematis karena ketika kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk "alamiah", yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986). Indikasi lain dapat ditemui pada salah satu elemen pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim demikian menjadi goyah setelah kita membaca John Pemberton (1994) yang menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa itu sendiri tidak sepenuhnya bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi dengan budaya Eropa selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai pengamatan yang mengandung bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang "autentik" untuk mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun autentitasnya. Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara "alami" pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.
Kesimpulan demikian tentu saja memiliki implikasi politik. Namun, ini tak berarti membatalkan bangunan nasionalisme yang telah dibangun oleh para elite nasionalis selama beberapa dekade terakhir. Hanya saja patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan nasionalisme Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis.
Di sinilah titik kritis karena nasionalisme, sebagai sebuah ideologi, memiliki kapasitas mentransformasikan energi sosial ke dalam aksi-aksi politik otoriterianisme. Dalam konteks ini, kacamata Anderson yang melihat nasionalisme sebagai imajinasi kolektif menjadi kabur dan tidak lagi memadai untuk mengamati bagaimana wacana nasionalisme beroperasi dalam relasi kekuasaan. Dalam perspektif ini, nasionalisme berada dalam sebuah relasi antara negara dan masyarakat yang menyediakan kekuasaan yang begitu besar dalam mengendalikan negara (John Breuilly, 1994). Dalam kondisi demikian, nasionalisme tidak lagi menjadi milik publik, melainkan hak eksklusif kaum elite nasionalis yang dengan otoritas pengetahuan mendominasi wacana nasionalisme. Dengan kata lain, nasionalisme berevolusi menjadi alat manufacturing consent untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan ekonomi politik kelompok elite nasionalis.
Untuk menghindari jebakan ideologis ini, wacana nasionalisme harus dilepaskan dari dominasi institusi negara, baik sipil maupun militer, dalam mendefinisikan nasionalisme. Wacana nasionalisme harus diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok masyarakat dapat dengan leluasa mengaji secara kritis dan memberi kontribusi kreatif terhadap wacana nasionalisme. Dengan demikian, nasionalisme menjadi arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis.

Analisa Sosial

Sebuah Dasar Sosiologi
A. PENGANTAR
gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat seperti norma-norma, kelompok , lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses , perubahan dan kebudayaan, serta perwujudannya. Tidak semua gejala-gejala tersebut berlangsung secara normal sebagaimana dikehendaki masyarakat bersangkutan.Gejala-gejala yang tidak dikehendaki merupakan gejala abnormal atau gejalapatologis.
Hal itu disebabkan karena unsur-unsur masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya,sehingga
menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah – masalah tersebut berbeda dengan problema-problema lain dalam masyarakat, karena maslaah-masalah tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Hal ini dinamakan masalah karena bersangkut paut dengan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat. Dengan demikian, masalah-masalah menyangkut nilai-nilai yang mencangkup pula segi moral, karena untuk dapat mengklasifikasikan suatu persoalan sebagai masalah harus digunakan penilaian sebagai pengukurannya. Apabila suatu masyarakat menganggap sakit jiwa, bunuh diri, perceraian, penyalahgunaan obat bius (narcotics addiction) sebagai masalah , maka masyarakat tersebut tidak semata-mata menunjuk pada tata kelakuan yang menyimpang. Akan tetapi sekaligus juga mencerminkan ukuran-ukuran umum mengenai segi moral. Setiap masyarakat tentunya mempunyai ukuran yang berbeda mengenai hal ini seperti minsalnya soal gelandangan merupakan masalah nyata menghadapi kota-kota besar di Indonesia. Tetapi belum tentu masalah tadi dianggap sebagai masalah di tempat lainnya. Hal ini juga tergantung dari faktor waktu. Mungkin pada waktu-waktu lampau permainan judi dianggap sebagai masalah yang penting akan tetapi dewasa ini tidak. Selain itu juga ada masalah-masalah yang tidak bersumber pada penyimpangan norma-norma masyarakat, tetapi lebih banyak mengenai susunannya, seperti masalah penduduk, pengangguran dan disorganisasi keluarga serta desa.
Sudah tentu sosiologi juga dapat mempunyai manfaat bagi bidang-bidang lain seperti pemerintahan, pendidikan, industri dan lain sebagainya.

B. MASALAH SOSIAL, BATASAN DAN PENGERTIAN
Acap kali dibebankan antara dua macam persoalan yaitu, antara masalah masyarakat (scientific or societal problem) dengan problema ( ameliorative or problem).
Yang pertama menyangkut analisis tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedang yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan untuk menghilangkannya. Sosiologi menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan.
Walaupun sosiologi meneliti gejala-gejala kemasyarakatan, namun juga perlu mempelajari masalah-masalah . Karena ia merupakan aspek-aspek tata kelakuan . Dengan demikian, sosiologi juga berusaha mempelajari masalah seperti kejahatan, konflik antar ras, kemiskinan, perceraian, pelacuran, delinkuensi anak-anak dan seterusnya. Dalam hal ini sosiologi bertujuan untuk menemukan sebab-sebab terjadinya masalah sosiologi tidak terlalu menekan pada pemecahan atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Karena usaha untuk mengatasi maslah hanya mungkin berhasil apabila didasarkan pada kenyataan serta latara belakangnya, maka sosiologi dapat ikut serta membantu mencari jalan keluar yang mungkin dapat dianggap efektif.
Masalah merupakan bagian sosiologi, sebenarnya masalah merupakan hasil dari proses perkembangan masyarakat. Artinya problema tadi memang sewajarnya timbul, apabila tidak diinginkan adanya hambatan-hambatan terhadap penemuan-penemuan baru dan gagasan baru. Dalam jangka waktu masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, timbullah maslah sosial, sampai unsur-unsur masyarakat berada dalam keadaan stabil lagi. Masalah sosial merupakan akibat dari interaksi sosial antara individu, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok. Interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai adapt – istiadat, tradisi dan ideology ditandai dengan suatu proses sosial yang disosiatif.
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.
Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, atas dasar unsur biologis, berkembang pula kebutuhan lain yang timbul karena pergaulan dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial, peranan sosial dan sebagainya. Apabila individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis serta kebutuhan-kebutuhan biologis. Dan dia akan merasa kehidupan ini tak banyak gunanya.
Untuk merumuskan apa yang dinamakan dengan masalah sosial tidak begitu sukar, dari pada usaha-usaha untuk membuat suatu indeks yang memberi petunjuk akan adanya masalah sosial tersebut. Banyak yang mengusahakan adanya indeks tersebut seperti minsalnya indeks simple ratesi yaitu angka laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, angka-angka bunuh diri, perceraian dan sebgainya. Sering juga diusahakan system composite indice yaitu gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek yang mempunyai kaitan satu dengan lainnya.
Indeks-indeks tersebut sukar untuk dijadikan ukuran mutlak, karena system nilai dan norma-norma dalam setiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Angka-angka bunuh diri yang tinggi di dalam suatu masyarakat tertentu mungkin dianggap sebagai suatu indeks akan adanya disorganisasi.

C. KLASIFIKASI MASALAH SOSIAL DAN SEBAB-SEBABNYA
Masalah sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, biopsikologis dan kebudayaan. Setiap masyarakat mempunyai norma-norma yang bersangk paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Problema – problema yang berasal dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Penyakit, minsalnya bersumber pada faktor biologis. Dari faktor psikologis timbul persoalan seperti penyakit syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya.
Klasifikasi yang berbeda, mengadakan pengolahan atas dasar kepincangan-kepincangan dalam warisan fisik, warisan biologis, warisan social dan kebijaksanaan social. Kedalam kategori pertama dapat dimasukkan masalah social yang disebabkan adanya pengangguran atau batasan-batasan sumber alam. Kategori kedua mencangkup persoalan-persoalan penduduk, minsalnya bertambah atau berkurangnya penduduk, pembatasan kelahiran, migrasi dan sebagainya.

D. UKURAN-UKURAN SOSIOLOGIS TERHADAP MASALAH SOSIAL
Dalam menentukan apakah suatu masalah merupakan problema social atau tidak, sosiologi menggunakan beberapa pokok persoalan sebagai ukuran, yaitu :
1. Kriteria utama
Masalah social yaitu, tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai social dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Unsur-unsur yang pertama dan pokok dari masalah social adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Artinya, adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi.
Secara sosiologis, agak sulit untuk menentukan secara mutlak sampai sejauh mana kepincangan dalam masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai suatu problema social juga.
2. Sumber – sumber Sosial Masalah Sosial
Masalah sosial merupakan persoalan-persoalan yang timbul secara langsung dari atau bersumber langsung kondisi-kondisi maupun proses-proses sosial. Jadi sebab-sebab terpentingnya masalah social haruslah bersifat sosial. Ukurannya tidaklah semata-mata pada perwujudannya yang bersifat sosial, akan tetapi juga pada sumbernya.
Kepincangan yang disebabkan oleh gempa bumi, angin topan, meletusnya api, banjir, epidemi dan segala sesuatunya yang disebabkan oleh alam, bukan merupakan maslah sosial.
Yang pokok disini adalah bahwa akibat dari gejala-gejala tersebut, baik gejala sosial maupun bukan sosial, menyebabkan masalah sosial. Inilah yang menjadi ukuran bagi sosiologi.

3. Pihak-pihak yang Menetapkan apakah suatu kepincangan merupakan masalah social atau tidak.
Ukuran diatas bersifat relative sekali. Mungkin dikatakan bahwa orang banyaklah yang harus menentukannya, atau segolongan orang yang berkuasa saja atau lain-lainnya. Dalam masyarakat merupakan gejala yang wajar jika sekelompok warga masyarakat menjadi pimpinan masyarakat tersebut. Golongan kecil tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih besar dari orang lain untuk membuat serta menentukan kebijaksanaan sosial.
Dalam hal ini para sosiologi harus mempunyai hipotesis sendiri untuk kemudian diujikan pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan apakah suatu gejala merupakan suatu problema social atau tidak.

4. Manifest social problem dan latent social problem
Sosiologi juga merupakan warga karena itu tidak mustahil, kalau penelitian-penelitiannya kadangkala tercemar oleh unsur subyektif lantaran ikatan yang begitu kuat antara dia sebagai warga dengan masyarakat.
Manifest social problem merupakan masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Kepincangan mana dikarenakan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Masyarakat pada umumnya tidak menyukai tindakan-tindakan yang menyimpang.

5. Perhatian masyarakat dan masalah social
Suatu kejadian merupakan masalah social belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat, belum tentu merupakan masalah social.
Hal lain yang perlu pula diketahui adalah bahwa semakin jauh jarak social antara orang-orang yang kemalangan dengan orang yang mengatahui hal itu, semakin kecil pula simpati timbul dan juga semakin kecil perhatian terhadap kejadian tadi.
Suatu problema yang merupakan manifest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problem yang sulit diatasi, karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, tetapi masyarakat tidak berdaya untuk menghadapinya. Dalam mengatasi problema tersebut, sosiologi seharusnya berpegang pada perbedaan kedua macam problema tersebut yang didasarkan pada system nilai-nilai masyarakat, sosiologi seharusnya mendorong masyarakat untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan yang diterimanya sebagai gejala abnormal yang mungkin dihilangkan (atau dibatasi).

E. BEBERAPA MASALAH SOSIAL PENTING
Kepincangan – kepincangan mana yang dianggap sebagai masalah sosial oleh masyarakat tergantung dari system nilai sosial masyarakat tersebut. Akan tetapi ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat pada umumnya sama yaitu minsalnya :

1. Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Factor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidak adilan.
Pada masyarakat moderen yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema social karena sikap yang membenci kemiskinan tadi.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer sehingga muncul tunakarya, tuna susila dan lainnya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi.

2. Kejahatan
Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku social lainnya. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat denga bentuk-bentuk dan organisasi social dimana kejahatan tersebut terjadi.
Para sosiologi berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat social psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses seperti imitasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang agresif sebagai proses yang menyebabkan seseoran menjadi penjahat.
Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku jahat tadi dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-alat komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, film, televise, radio, memberikan pengaruh tertentu yaitu dalam memberikan sugesti kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku jahat.
Untuk mengatasi maslah itu, kecuali tindakan preventif, dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey ada dua factor konsepsi mengenai teknik rehabilitasi tersebut. Yang pertama menciptakan system dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang jahat tersebut. Sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, minsalnya hukuman bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan diberi konsultasi psikologis. Minsalkan kepada narapidana di lembaga permasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan untuk menguasai bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah apa yang disebut sebagai white-collar crime, suatu gejalayang timbul pada abad modern ini. Banyak ahli beranggapan, bahwa tipe kejahatan ini merupakan ekses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat. Karena itu pada mulanya gejala ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat didalam menjalankan peranan fungsinya. Keadaan keuangannya yang relative kuat mungkin mereka untuk melakukan perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendaliannya dengan kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka, sehingga dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat white-collar terletak pada kelemahan korban-korbannya.

Masalah diatas memang terkenal rumit karena menyangkut paling sedikit beberapa aspek sebagai berikut :
a. Siapakah lapisan tertinggi masyarakat yang karena profesi dan kedudukannya mempunyai peluang untuk melakukan kejahatan tersebut.
b. Apakah perbuatan serta gejala-gejala yang dapat dikualifikasikan sebagai white-collar crime.
c. Faktor-faktor social dan individual apa yang menyebabkan orang berbuat demikian.
d. Bagaimana tindakan-tindakan pencegahannya melalui sarana-sarana pengendalian social tertentu.

Factor-faktor individual tersebut diatas dapat saja dimiliki oleh tipe penjahat lain. Akan tetapi yang justru membedakannya adalah kedudukan dan peranan yang melekat padanya.

3. Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban yang sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain adalah :
a. Unit kerja yang tidak lengkap karena hubungan diluar perkawinan. Karena ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian juga halnya dengan keluarga pihak ayah maupun ibu.
b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dan tempat tidur dan seterusnya.
c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut yaitu dalam hak komunikasi
d. Krisis keluarga, oleh salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga di luar kemampuan sendiri meninggalkan rumah tangga, meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan.
e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh factor intern, minsalnya karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga.

4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern
Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh dua ciri yang berlawanan, yakni keinginan untuk melawan (minsalnya dalam bentuk redikalisme, delinkuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis. Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat. Generasi muda biasannya menghadapi masalah social dan biologis.

5. Peperangan
Perperangan mungkin merupakan masalah social paling sulitdipecahkan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sehingga memerlukan kerjasama internasional yang hingga kini belum berkembang dengan baik. Perkembangan teknologi yang pesat semakin memoderilisasikan cara-cara berperang dan menyebabkan pula kerusakan-kerusakan yang lebih hebat ketimbang masa lampau.

6. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
a. Pelacuran
Sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat pada factor endogen dan eksogen. Diantara factor endogen dapat disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Diantara factor tersebut yang utama adalah factor ekonomis, urbanisasi yang tak teratur. Sebab utama adalah konflik mental, situasi hidup yang tidak dewasa ditambah dengan intelligentsia yang rendah.
Usaha untuk mencegahnya ialah dengan jalan meneliti gejala-gejala yang terjadi jauh sebelum adanya gangguan mental, minsalnya gejala insekuritas pada anak-anak wanita, gejala membolos, mencuri kecil-kecilkan dan sebagainya. Hal itu semuanya dapat dicegah dengan usaha pembinaan sekuritas dan kasih sayang yang stabil.

b. Delinkuensi Anak-anak.
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam suatu ikatan /organisasi formal atau semi formal dan mempunyai tingkah laku yang kurang/tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya.

c. Alkoholisme
Masalah alkoholisme dan pemabuk pada kebanyakan masyarakat pada umumnya tidak berkisar pada apakah alcohol boleh atau dilarang digunakan. Persoalan pokoknya adalah siapa yang boleh menggunakannya, dimana, bilamana dan dalam kondisi yang bagaimana. Umumnya orang awam berpendapat bahwa alcohol merupakan suatu system syaraf. Akibatnya, seorang pemabuk semakin kurang kemampuannya untuk mengendalikan diri. Pembicaraan alkoholisme mengenai aspek hukum hanya akan dibatasi pada perundang-undangan. Perundang-undangan merupakan segala keputusan resmi secara tertulis yang dibuat penguasa, yang meningkat. Dengan demikian perundang-undangan merupakan satu segi saja dari aspek hukum, karena disamping perundang-undangan, ada hukum adat, hukum yurisprudensi, dan seterusnya.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya terdapat satu pasal yang mengatur tentang keadaan mabuk sebagai kejahatan. Pasal itu adalah pasal 300 yang isinya adalah, sebagai berikut :
1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
a. Barang siapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang mebabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk.
b. Barang siapa dengan sengaja membuat mabuk seseorang anak yang umurnya belum cukup enam belas tahun.
c. Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang untuk minum minuman yang memabukkan.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama juta tahun.
3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
4) Jika bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.

Yang menjadi tolak ukur perbuatan yang dirumuskan dalam pasal tersebut khususnya ayat 1 sub 1, 2 dan 3. kesemuanya merupakan tindakan-tindakan yang ada syaratnya, yakni keadaan sudah mabuk, dibawah umur dan dengan melakukan paksaan.

d. Homoseksualitas
Homoseksual adalah seseorang yang cendrung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual. Homoseksual merupakan sikap atau tindakan pola perilaku para homoseksual. Pria yang melakukan sikap-tindak demikian disebut homoseksual, sedangkan lesbian merupakan sebutan bagi wanita yang berbuat demikian.
Homoseksual dapat digolongkan kedalam tiga kategori, yakni :
1. Golongan yang secara aktif mencari mitra kencan di tempat-tempat tertentu, seperti bar-bar homoseksual.
2. Golongan pasif, artinya yang menunggu
3. Golongan situasional yang mungkin bersikap pasif atau melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Di Indonesia belum ada perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah-masalah homoseksual. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pudana ada pasal 292 yang secara eksplisit mengatur soal-sikap-tindak homoseksual, yang dikaitkan dengan usia dibawah umur. Isi pasal itu adalah sebagai berikut :
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Proses penanaman tidak hanya terjadi pada homoseksual, akan tetapi juga terhadap gejala-gejala lainnya, yang oleh masyarakat dianggap suatu pengimpangan. Proses penanaman itu sebenarnya merupakan suatu sarana pengendalian social, oleh karena :
- Memberikan patokan mengenai sikap-sikap yang diperolehkan dan yang dilarang.
- Membatasi sikap-tindak menyimpang pada kelompok ke kelompok tertentu.
Atas dasar pandanngan sosilologis tersebut, maka untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan timbulnya homoseksual dan prosesnya diperlukan suatu uraian mengenai kebudayaan khususnya.

7. Masalah Kependudukan
Penduduk suatu Negara, pada hakikatnya merupakan sumber yang sangat penting bagi pembangunan, sebab penduduk merupakan subyek serta obyek pembangunan. Salah satu tanggung jawab utama Negara adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk serta mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap gangguan kesejahteraan. Di Indonesia gangguan tersebut menimbulkan masalah, antara lain :
a. Bagaimana menyebarkan penduduk, sehingga tercipta kepadatan penduduk yang serasi untuk seluruh Indonesia.
b. Bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran, sehingga perkembangan kependudukan dapat diawasi dengan seksama.

8. Masalah Lingkungan Hidup.
Lingkungan hidup biasanya dibedakan dalam kategori-kategori sebagai berikut :
a. Lingkungan fisik, yaitu semua benda mati yang ada di sekeliling manusia.
b. Lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup (disamping manusia itu sendiri).
c. Lingkungan social, yang terdiri dari orang-orang baik individual maupun kelompok yang berada disekitar manusia.

Untuk membedakan organisme hidup dengan benda-benda mati dengan sifat-sifat dasar masing-masing organisme adalah sebagai berikut :
Organisme Hidup Organisme Mati
1. Bersifat Dinamis

2. Dapat tumbuh dan berkembang biak.

3. Mampu mendapatkan dan menyimpan energi.

4. Mempunyai daya reaksi dan mampu bervariasi. 1. Bersifat statis

2. Tidak tumbuh dan berkembang biak

3. Tidak mampu memperoleh energi secara aktif, akan tetapi dapat mengeluarkannya sampai habis.

4. Daya reaksi sangat kecil dan tidak mampu bervariasi.

Dalam hubungan dengan organisme hidup lainnya dalam lingkungan hidup, maka hubungan tersebut mungkin terjadi secara sadar atau bahkan tidak disadari. Namun demikian biasanya dibedakan antara :
a. Hubungan simbolis, yakni hubunmgan timbale-balik antara organisme hidup yang berbeda speciesnya. Bentuk hubungannya ialah :
- Parasitisme, dimana satu pihak beruntung sedangkan pihak lain dirugikan.
- Komensalisme, dimana satu pihak mendapat keuntungan sedangkan pihak lain tidak dirugikan.
- Mutualisme, dimana terjadi hubungan saling menguntungkan.
b. Hubungan social yang merupakan hubungan timbale-balik antara organisme hidup yang sama spesiesnya. Bentuknya antara lain :
- Kompetisi
- Kooperasi.

9. Birokrasi
Pengertian birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang dimaksudkan untuk menggerahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk keperntingan pelaksanaan tugas-tugas administrative.
Ciri-ciri birokrasi dan cara terlaksananya adalah sebagai berikut :
1. Adanya ketentuan tegas dan resmi mengenai kewenangan yang didasarkan pada peraturan-peraturan umum, yaitu ketentuan –ketentuan hukum dan administrasi.
2. prinsip pertingkatan (hierarchy) dan derajat wewenang merupakan system yang tegas perihal hubungan atasan dengan bawahan dimana terdapat pengawasan terhadap bawahan oleh atasannya.
3. Ketatalaksanaan suatu birokrasi yang moderen didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis (files), disusun dan dipelihara aslinya ataupun salinannya.
4. Pelaksanaan birokrasi dalam bidang-bidang tertentu memerlukan latihan dan keahlian khusus.
5. Kegiatan kemampuan kerja yang maksimal dari pelaksanaan-pelaksanaannya, terlepas dari kenyataan bahwa waktu bekerja pada organisasi tersebut secara tegas dibatasi.
6. Pelaksanaan didasarkan pada ketentuan-ketentuan umum yang bersifat langgeng atau kurang lenggeng, kesemuanya dapat dipelajari. Pengetahuan akan peraturan-peraturan memerlukan cara yang khusus. Meliputi hukum , ketatalaksanaan administrasi dan perusahaan.

Dengan memperhatikan ciri-ciri yang telah diuraikan maka dapat dikatakan birokrasi peling sedikut mencangkup lima unsure, yaitu :
1. Organisasi
2. Pengerahan tenaga
3. Sifat yang teratur
4. Mempunyai tujuan.
Organisasi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan tenaga serta membagi-bagikan kekuasaan dan wewenang. Apabila dilihat pada pembagian kekuasaan tersebut, maka didalam suatu organisasi terdapat :
1. Penguasa dan mereka yang dikuasai
2. Hirarki, yaitu urutan kekuasaan secara vertical/bertingkat dari atas ke bawah.
3. Ada pembagian tugas horizontal, yaitu pembagian tugas antara beberapa bagian, dimana bagian tersebut mempunyai kekuasaan dan wewenang yang setingkat atau sederajat.
4. Ada suatu kelompok sosial.

F. PEMECAHAN MASALAH SOSIAL
Dewasa ini ditemukan cara-cara analisis yang lebih efektif, walaupun metode-metode lama yang terbukti tidak efektif, belum dapat dihilangkan begitu saja. Hal ini disebabkan ilmu social pada umumnya belum sanggup untuk menetapkan secara mutlak dan pasti apa yang merupakan masalah social pokok. Lagi pula pengaruh pemecahan masalah social tidak dirasakan dengan segera, tetapi setelah jangka waktu yang cukup lama. Akhirnya perlu dicatat bahwa pasti ada reaksi terhadap masalah social menyangkut nilai-nilai dan perasaan social. Akan tetapi walaupun ada kekurangan, namun penelitian terhadap masalah social berkembang terus. Metode yang digunakan ada yang bersifat preventif dan represif. Metode yang preventif jelas lebih sulit dilaksanakan, karena harus didasarka pada penelitian yang mendalam terhadap sebab-sebab terjadinya masalah social. Metode represif lebih banyak digunakan, artinya setelah suatu gejala dapat dipastikan sebagai masalah social, baru diambil tindakan-tindakan untuk mengatasainya. Di dalam mengatasi masalah social tidaklah perlu semata-mata melihat aspek sosiologisnya, tetapi juga aspek-aspek lainnya. Sehingga, diperlukan suatu kerja sama antara ilmu pengetahuan kemasyarakatan pada khususnya untuk memecahkan masalah social yang dihadapi.

G. PERENCANAAN SOSIAL (SOCIAL PLANNING)
Perencanaan social pada dewasa ini menjadi cirri umum bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan atau perkembangan. Sebenarnya perencanaan social yang bertujuan untuk melihat jauh ke muka telah ada sejak dahulu dan telah pula difikirkan oleh para sosiolog.
Suatu perencanaan social tak akan berarti banyak, apabila individu-individu tidak belajar untuk mencelah gejala-gejala social secara obyektif sehingga dia dapat turut serta dalam perencanaan tersebut. Prasyaratan suatu perencanaan social yang efektif adalah :
1. adanya unsur moderen dalam masyarakat yang mencangkup sustu system ekonomi dimana telah dipergunakan uang, urbanisasi yang teratur, inteligensia di bidang teknik dan ilmu pengetahuan dan suatu system administrasi yang baik.
2. Adanya system pengumpulan keterangan dan analisis yang baik.
3. terdapatnya sikap public yang baik terhadap usaha-usaha perencanaan social
4. Adanya pimpinan ekonomi dan politik yang progresif.

H. TOKO-TOKOH YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN ILMU SOSIOLOGI
Auguste Comte (1798 – 1857)
Seorang yang berasal dari Prancis, merupakan Bapak Sosiologi yang pertama-tama memberi nama pada ilmu tersebut (yaitu dari kata kata socius logos). Walaupun dia tidak menguraikan secara rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi dia mempunyai anggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian pokok yaitu social statistic dan social dynamics. Konsepsi tersebut merupakan pembakok sekali.

Interaksi Sosial

Interaksi sosial terjadi karena adanya sifat dasar manusia yang merupakan makhluk sosial yang selalu ingin berhubungan dan didasari oleh kebutuhan manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka interaksi sosial ini terjadi.Dalam pendekatan interaksi sosial dapat terjadi dengan beberapa cara salah satunya adalah pendekatan interaksionisme simbolis. Pendekatan ini bersumber pada pemikiran Mead. Symbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh orang yang mempergunakannya. Makna atau nilai tersebut hanya dapat ditangkap melalui cara-cara non-sensoris.
Menurut Blumer pokok pikiran interaksionisme ada tiga: manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dipunyai sesuatu tersebut baginya, makna yang
dipunyai tersebut berasal atau muncul dari hasil interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya, dan makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran, yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya.
Thomas dikenal dengan ungkapannya bahwa bila orang mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konsekuensi nyata. Thomas membedakan antara definfisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat, yaitu ia melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut.
Hall mengemukakan bahwa dalam interaksi dijumpai aturan-aturan tertentu dalam hal penggunaan ruang. Dari penelitiannya hall menyimpulkan bahwa dakam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak, yakni jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.
Hall antara lain membahas pula aturan mengenai waktu. Hall mencatat bahwa dalam masyarakat berbeda dijumpai pengguanaan waktu secara berbeda karena adanya persepsi berbeda mengenai waktu. Menurut Hall dalam interaksi kita tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang lain tetapi juga apa yang dilakukannya. Komunikasi nonverbal atau bahasa tubuh kita gunakan secara sadar maupun tidak untuk menyampaikan perasaan kita kepada orang lain. Studi sosiologis terhadap gerak tubuh dan isyarat tangan ini dinamakan kinesics.
Karp dan Yoels mengemukakan bahwa untuk dapat berinteraksi seseorang perlu mempunyai informasi mengenai orang yang berada di hadapannya. Manakala kita tidak mengetahui riwayat hidupnya dan/atau kebudayaannya maka interaksi sukar dilakukan. Sumber-sumber informasi yang disebutkan Karp dan Yoels adalah ciri fisik yang diwarisi sejak lahir seperti jenis kelamin, usia, dan ras serta penampilan – daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan percakapan.
Menurut Goffman dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak membuat pernyataan dan memperoleh kesan. Ia membedakan dua macam pernyataan: pernyataan yang diberikan dan pernyataan yang dilepaskan. Menurutnya masing-masing pihak berusaha mendefinisikan situasi dengan jalan melakukan pengaturan kesan.
Knapp membahas berbagai tahap yang dapat dicapai dalam interaksi. Tahap-tahap interaksi tersebut terbagi dalam dua kelompok besar, yakni tahap-tahap yang mendekatkan peserta interaksi, dan tahap-tahap yang menjauhkan mereka.
Dalam interaksi sosial dikenal tiga macam interaksi yang dapat terjadi yaitu mikro, meso dan makro sosiologi. Pengertian miKro, meso, dan maKro dalam sosiologi dapat dianalogikan dengan kelompok sosial kecil, sedang, dan besar. Dalam sosiologi mikro kita berbicara misalnya tentang single mother, hubungan orang tua-anak, sepasang kekasih, keluarga, pernikahan usia dini. Dalam soiologi meso kita berbicara antara lain mengenai pekerja PT Z di kota B, pekerja anak di Kabupaten Y, geng motor di Kota X, atau hubungan antaretnis di ibu kota Provinsi. Dalam sosiologi makro, kita dapat membahas masalah seperti program KB di Indonesia, pembagian BLT, dampak sosial konversi minyak tanah ke elpiji, atau jumlah pengakses internet di negara kita.

Kelompok Sosial
Kelompok sosial sangat penting karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Tanpa kita sadari sejak lair himgga ajal kita menjadi anggota berbagai jenis kelompok. Dengan menggunakan tiga criteria, yakni kesadaran jenis, hubungan satu sama lain, ikatan organisasi. Bierstedt membedakan empat jenis kelompok: kelompok asosiasi, keloompok sosial, kelompok kemasyarakatan, dan kelompok statistic.
Menurut Meton kelompok merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola-pola yang telah mapan sedangkan kolektifitas merupakan orang-orang yang mempunyai rasa solidaritas karena berbagi nilai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral umtuk menjalankan harapan peranan. Konsep lain yang diajukan Merton ialah konsep kategori sosial.
Durkheim membedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidairtas mekanis, dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organis. Solidaritas mekanis merupakan cirri yang menandai masyarakat yang sederhana, sedangkan solidaritas organis merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks yang telah mengenal pembagian kerja yang rici dan diperastukan oleh kesalingtergantungan antar bagian.
Toennies mengadakan perbedaan antara dua jenis kelompok: Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft merupakan kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir. Gesellschaft merupakan kehidupan publik, yang terdirir atas orang-orang yang kenetulan hadir bersama tetapi masing-masing tetap amndiri dan bersifat sementara dan semu.
Cooley memperkenalkan konsep kelompok primer. Sebagai lsejumlah ahli sosiologi menciptakan konsep kelompok sekunder, yakni suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya Cooley. Suatu kalidifikasi lain yaitu suatu pembedaan antara kelompok luar dan kelompok dalam, di dasarkan pada pemikiran Sumner. Sumner mengemukakan bahwa di kalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan, dan kedamaian sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang, dan perampokan.
Merton mengamati bahwa kadang-kadang perilaku seseorang mengacu pada kelompok lain yang dinamakan kelompok acuan. Di kala seseorang berubah keanggotaan kelompok, ia sebelumnya dapat menjalani perubahan orientasi, yaitu suatu proses yang oleh Merton diberi nama sosialisasi antisiaporis.
Suatu klasifikasi yang digali Geertz dari masyarakat Jawa adalah pembedaan anara kaum abangan, santri, dan priyayi. Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ni didasarkan atas perbedaan pandangan hidup di antara mereka.
Menurut Webber dalam masyarakat modern kita mejumpai suatu sistem jabatan yang dinamakan birokrasi. Organisasi birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah prinsip. Prinsip-prinsip tersebut hanya dijumpai pada birokrasi yang oleh Weber disebut tipe ideal, yang tidak akan kita jumpai dalam masyarakat.
Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuan sosial adalah berkaitan antara kelompok formal dan kelompok informal. Dalam organisasi formal akan terbentuk berbagi kelompok informal. Nilai dan aturan kelompok informal dapat bertentangan dengan nilai dan aturan yang berlaku dalam organisasi formal.

Stratifikasi Sosial
Pembedaaan anggota masyarakat berdasarkan status dinamakan stratifikasi sosial. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya, kita menjumpai adanya berbagai macam stratifikasi. Anggota masyarakat dibedakan pula berdasarkan sttus yang dirihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis stratifikasi lain.
Dalam sosiologi kita mengenal perbedaan antara stratifikasi tertutup dan stratifikasi terbuka. Keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur dari mudah-tidaknya dan sering-tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam strata yang lebih tinggi. Dalam sosiologi mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial. Mobilitas vertical mengacu pada mobilitas ke atas atau ke bawah dalam stratifikasi sosial. Ada pun apa yang dinamakan lateral mobility yang mengacu pada perpindahan geografis antara lingkungan setwmpat, kota, dan wilayah.
Di kalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam penetuan jumlah lapisan osial. Ada yang merasa cukup klasifikasi dalam dua lapisan, dan ada pula yang memebedakan antara tiga lapisan atau lebih. Barber memperkenalkan beberapa konsep ynag mempertajam konsep stratifikasi. Salah satu di antaaranya ialah konsep rentang, yang mengacu pada peredaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah. Konsep terkait lainnya iala konsep bentuk, yang mengacu pada proporsi orang-orang yang terletak di kelas-kelas sosial yang berlainan.
Menurut Marx, lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri nodern mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis dan kelas proleter. Marx meramalkan bahwa melalui suatu perjuangan kelas kaum proletar akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
Pandangan Marx ini dikecam oleh banyak ilmuwan sosial. Kritik utama ditujukan pada diginakannya hanya satu dimensi, yaitu dimensi ekonomi, yaitu menetapkan stratifikasi sosial. Kritik lain ialah bahwa dalam kenyataan masyarakat industri mengenal lebih dari dua kelas.
Weber mengemukakan bahwa di saamping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain. Webwe memperkenalkan perbedaan antara konsep-konsep kelas, kelompok status, dan partai, yang merupakan dasar bagi pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi sosial.
Pengaruh Weber Nampak dalam pandangan Peter Berger, yang mengartikan stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungna atasan-bawahan atas dasar kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Pengaruh weber Nampak pula dalam karya Jeffries dan Ransford yang dengan menggunakan ukuran kekuasaan, hirarki kelas, dan hirarki status. Suatu hal yang ditekankan Weber ialah kemungkinan adanya hubungan antara kedudukan menurut beberapa dimensi.
Pandangan Davis dan Moore yang dikenal sebagai penjelasan fungsionalis menekankan pada fungsi status-status dalam masyarkat yang dinilai meninjang kesinambungan masyarakat. Sejumlah ahli sosiologi lain melihat bahwa stratifikasi timbul karena adanya masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Adanya perbedaan prestise dalam masyarakat tercermin pada perbedaan gaya hidup. Dalam kaitan dengan perbedan atarkelas ini para ahli sosiologi seing berbicara mengenai symbol status.
Kedudukan dalam suatu kelas sosial tertentu mempunyai arti penting bagi seseorang. Perbedaan kelas sosial berkaitan dengan perbedaan fertilitas, harapan hidup bayi pada waktu lahir, kestabilan keluarga, kesehatan mental,perilaku seks, kehidupan beragama. Mode, dan sikap politik.
Dalam sosiologi digunakan beberapa pendekatan untuk mempelajari stratifikasi sosial seperti pendekatan objektif, pendekatan subjektif, dan pendekatan reputational. Ada masyarakat yang berpandangan bahwa apa yang dapat diperoleh seorang anggota masyarakat tergantung pada kemampuannya. Masyarakat lebih menekankan asa yang menyatakan bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapat. Untuk mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai negara menerapkan berbagai program. Beberapa masyarakat bukan berusaha mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat dengan jalan membatasi perbedaan antar individu.

Hubungan Antar Kelompok
Dalam pembahasan mengenai hubungan antarkelompok yang dimaksudkan dengan kelompok mencakup statistical group, societal group, dan associational group. Konsep kelompok di sinsi mencakup semua kelompok yang diklasifikasikan berdasarkan criteria cirri fisik, kebudayaan, ekonomi, dan perilaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelompok moralitas dapat dikaji dengan menggunakan dimensi sejarah, dimensi demografi, dimensi sikap, dimensi institusi, dimensi gerakan sosial, dan dimensi tipe utama hubungan antarkelompok. Di samping itu ada yang perlu diperhatikan, yaitu dimensi perilaku dan dimensi kolektif.
Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti ialah hubungan mayoritas-minoritas, dalam definisi Kinloch kelompok mayoritas ditandai adanya kelebihan kekuasaan; konsep mayoritas tidak dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok. Ada pula ilmuwan sosial berpendapat bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan jumlah anggota.
Redfield melihat bahwa konsep ras sebagai gejala sosial berlainan dengan konsep ras sebagai gejala biologis. Bagi Berghe ras berarti kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik. Rasisme didefinisikan sebagai suatu ideology yang didasarkan pada keyakinan bahwa cirri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik cirri tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat didiskriminasi. Kita menjumpai pula ideology-ideologi lain yang jugaberusaha membenarkan diskriminasi terhadap kelompok lain seperti sitem ageisn. Apabila kita bicara tentang rasialisme kita berbicara mengenai praktik diskriminasi terhadap kelompok ras lain.
Ideologi rasisme yang menganggap bahwa orang Kulit Putih lebih unggul daripada orang kulit berwarna antara lain pernah dianut oleh Amerika Serikat dan hingga kini masih dianut di Republik Afrika Selatan. Menurut v.d.Berghe demokrasi di Amerika Serikat hingga awal Perang Dunia II dan di Afrika Selatan hingga kini merupakan apa yang dinamakanmya “Herrenvolk democracy”.
Menurut Noel stratifikasi etnik terjadi apabila terpenuhi tiga persyaratan yaitu: etnosentrisme, persaingan, dan perbedaan kekuasaan. Collins berpandangan bahwa satu-satunya faktor yang mengawali dan mendasari stratifikasi jenis kelamin ialah kekuatan fisik, sedangkan Parsons mengaitkan stratifilasi jenis kelamin dengan industrialisasi. Menurut Ransford kekhususan stratifikasi usia terletak pada kenyataan bahwa status dalam jenjang kekuasaan, pertise dan privilese berbentuk kurvilinear.
Banton mengemukakan bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme, atau integrasi. Dalam klasifikasi Liberson dapat dibedakan antara pola dominasi kelompok pendatang aatas kelompok pribumi dan pola dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang.
Dalam hubungan antarkelompok sering ditampilkan prasangka. Salah satu teori untuk menjelaskan prasangka ialah teori frustasi-agresi. Stereotip erat kaitannya dengan prasangka. Stereotip-stereotip dapat bersifat negatif maupun positif. Bettelheim dan Janowitz membedakan dua macam stereotip negatif yang saling bertentangan: stereotip superego dan stereotip id.
Satu bentuk perilaku yang banyak ditampilkan dalam hubungan antarkelompok ialah diskriminasi. Ransford membedakan antara diskriminasi individu dan diskriminasi institusi. Prasangka bukanlah prasyarat bagi perilaku diskriminasi, dan sebaliknya prasangka yang dianut seseorang oun tidak selalu membuahkan perilaku diskriminatif.
Hubungan antarkelompok sering berwujud perilaku kolektif. Tidak jarang gerakan antarkelompok berkembang menjadi huru-hara yang mengakibatkan perusakan harta benda atau bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Hubungan antarkelompok pun sering melibatkan gerakan sosial, baik yang diprakarsai oleh pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan keadaan yang ada.

Masyarakat Perkotaan

1 Struktur Penduduk Kota
a. Segi Demografi
Ekspresi demografi dapat ditemui di kota-kota besar. Kota-kota sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan dan pusat jasa lainnya menjadi daya tarik bagi penduduk di luar kota. Jenis kelamin dalam hal ini mempunyai arti penting, karena semua kehidupan sosial dipengaruhi oleh proporsi atau perbandingan jenis kelamin. Suatu kenyataan ialah bahwa pada umumnya kota lebih banyak dihuni oleh wanita daripada pria.
Struktur penduduk kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak tergolong dalam umur produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka
yang berumur lebih dari 65 tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai kehidupan dan suasana yang lebih tenang. Suasana ini terdapat di daerah-daerah pedesaan atau sub urban.

b. Segi Ekonomi
Struktur kota dari segi ini dapat dilihat dari jenis-jenis mata pencaharian penduduk atau warga kota. Sudah jelas bahwa jenis mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan dan di bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur dari segi jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.

c. Segi Segregasi
Segregasi dapat dianalogkan dengan pemisahan yang dapat menimbulkan berbagai kelompok (clusters), sehingga kita sering mendengar adanya: kompleks perumahan pegawai bank, kompleks perumahan tentara, kompleks pertokoan, kompleks pecinan dan seterusnya. Segregasi ini ditimbulkan karena perbedaan suku, perbedaan pekerjaan, perbedaan strata sosial, perbedaan tingkat pendidikan dan masih beberapa sebab-sebab lainnya,
Segregasi menurut mata pencaharian dapat dilihat pada adanya kompleks perumahan pegawai, buruh, industriawan, pedagang dan seterusnya, sedangkan menurut perbedaan strata sosial dapat dilihat adanya kompleks golongan berada. Segregasi ini tidak akan menimbulkan masalah apabila ada saling pengertian, toleransi antara fihak-fihak yang bersangkutan.
Segregasi ini dapat disengaja dan dapat pula tidak di sengaja. Disengaja dalam hubungannya dengan perencanaan kota misalnya kompleks bank, pasar dan sebagainya. Segregasi yang tidak disengaja terjadi tanpa perencanaan, tetapi akibat dari masuknya arus penduduk dari luar yang memanfaatkan ruang kota, baik dengan ijin maupun yang tidak dengan ijin dari pemerintahan kota. Dalam hal seperti ini dapat terjadi slums. Biasanya slums ini merupakan daerah yang tidak teratur dan bangunan-bangunan yang ada tidak memenuhi persyaratan bangunan dan kesehatan.
Adanya segregasi juga dapat disebabkan sewa atau harga tanah yang tidak sama. Daerah-daerah dengan harga tanah yang tinggi akan didiami oleh warga kota yang mampu sedangkan daerah dengan tanah yang murah akan didiami oleh swarga kota yang berpenghasilan sedang atau kecil.
Apabila ada kompleks yang terdiri dari orang-orang yang sesuku bangsa yang mempunyai kesamaan kultur dan status ekonomi, maka kompleks ini atau clusters semacam ini disebut dengan istilah ”natural areas”.

2. Sifat-Sifat Masyarakat Kota
Masyarakat kota adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/ tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain. Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis usaha yang bersifat non-agraris. Masyarakt perkotaan memiliki sifat-sifat yang tampak menonjol yaitu:

a. Sikap kehidupan
Sikap kehidupan masyarakt kota cenderung pada individuisme/egoisme yaitu masing-masing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakt lainnya, hal mana menggambarkan corak hubungan yang terbatas, dimana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan untuk melakukan apa yang mereka inginkan.

b. Tingkah laku
Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreativitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat menerima yang baru atau membuang sesuatu yang lama, lebih cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru. Kedok peradaban yang diperolehnya ini dapat memberikan sesuatu perasaan harga diri yang lebih tinggi, jauh berbeda dengan seni budaya dalam masyarakat desa yang bersifat statis. Derajat kehidupan masyarakt kota beragam dengan corak sendiri-sendiri

c. Perwatakan
Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang egoism dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi, yang mana menimbulkan efek-efek negative yang berbentuk tindakan amoral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.
Berdasarkan paparan diatas maka masyarakat kota memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Terdapat spesialisasi dari variasi pekerjaan.
• Penduduknya padat dan bersifat heterogen.
• Norma-norma yang berlaku tidak terlalu mengikat.
• Kurangnya kontrol sosial dari masyarakat karena sifat gotong royong mulai menurun.
Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ini dapat dilhat dari unsure-unsur pembeda yang telah ada, Yaitu:

- Unsur pembedaan Desa Kota
1 Mata pencaharian Agraris-homogen Non agraris-heterogen
2 Ruang kerja Lapangan terbuka Ruang tertutup
3 Musim/cuaca Penting dan menentukan Tidak penting
4 Keahlian Umum dan tersebar Ada spesialisasi
5 Rumah dan tempat kerja Dekat Berjauhan
6 Kepadatan penduduk Tidak padat Padat
7 Kontak sosial Frekwensi kecil Frekwensi besar
8 Stratifikasi sosial Sederhana dan sedikit Hukum/peraturan tertulis
9 Lembaga-lembaga Terbatas dan sederhana Hukum/peraturan tertulis
10 Kontrol sosial Adat/tradisi Hukum/peraturan tertulis
11 Sifat masyrakat Gotong royong akrab Gesellschaft
12 Mobilitas Rendah Tinggi
13 Status sosial Stabil Tidak stabil

Materialisme dan Idealisme

Seluruh sejarah filsafat dari jaman Yunani sampai hari ini tersusun atas pergulatan antara dua aliran pemikiran yang persis berseberangan - materialisme dan idealisme. Di sini kita mendapati satu contoh yang sempurna tentang bagaimana kedua istilah yang dipergunakan dalam filsafat ini berbeda makna secara hakiki dengan maknanya yang dipergunakan sehari-hari. Ketika kita merujuk seseorang sebagai "idealis", kita biasanya berpikir tentang seseorang yang memiliki ideal-ideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang materialis, sebaliknya, dipandang sebagai seorang yang tidak punya prinsip, seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain - pendeknya, seorang yang sama sekali tidak menyenangkan.

Kedua pemaknaan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan materialisme dan idealisme di dunia filsafat. Dalam makna filosofis, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau, lebih tepatnya Ide, yang hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita kenal melalui indera kita, menurut aliran ini, hanyalah salinan yang kurang sempurna dari Ide yang sempurna itu. Para pendukung filsafat ini yang paling konsisten sepanjang sejarah kuno adalah Plato. Walau demikian, ia bukan merupakan pencipta idealisme, yang telah lahir sebelum jamannya.

Para pengikut Pythagoras percaya bahwa hakikat dari segala hal adalah Angka (satu pandangan yang agaknya dimiliki pula oleh beberapa ahli matematika modern). Para Pythagorean ini menunjukkan penghinaan terhadap dunia material secara umum dan tubuh manusia secara khusus, yang mereka pandang sebagai penjara di mana jiwa terperangkap. Pandangan ini memiliki kemiripan yang mengejutkan dengan pandangan-pandangan para biarawan abad pertengahan. Benar, mungkin saja bahwa Gereja mengambil banyak ide mereka dari kaum Pythagorean, Platonis dan Neo-Platonis. Hal ini tidaklah mengejutkan. Semua agama niscaya memiliki akar dalam pandangan idealis terhadap dunia. Perbedaannya adalah bahwa agama mempengaruhi emosi, dan mengaku menyediakan satu pemahaman yang mistis dan intuitif terhadap dunia ("Penglihatan"), sementara kebanyakan filsuf idealis berupaya menyajikan satu argumen yang logis untuk teori-teori mereka.

Pada dasarnya, bagaimanapun juga, akar dari segala bentuk idealisme adalah religius dan mistis. Kejijikan terhadap "dunia material kasar" dan pengangkatan "Ide" ke posisi yang tinggi mengalir langsung dari gejala yang telah kita lihat dalam hubungannya dengan agama. Bukanlah sebuah kebetulan jika idealisme Platonis berkembang di Athena ketika sistem perbudakan sedang berada dalam puncak kejayaannya. Kerja-kerja fisik, pada saat itu, dilihat secara harafiah sebagai sebuah penanda perbudakan. Satu-satunya kerja yang dapat dihargai adalah kerja-kerja intelektual. Secara hakiki, filsafat idealisme adalah satu produk dari pembedaan yang ekstrim antara kerja-kerja fisik dan mental yang telah hadir dari sejak menyingsingnya fajar sejarah sampai hari ini.

Sejarah filsafat Barat, walau demikian, tidak dimulai dengan idealisme melainkan dengan materialisme. Filsafat ini menunjukkan kepada kita persis kebalikan dari idealisme: bahwa dunia material, yang kita kenal dan jelajahi melalui ilmu pengetahuan, nyata adanya; bahwa satu-satunya dunia yang nyata adalah dunia material; bahwa pikiran, ide, dan perasaan adalah hasil dari materi yang terorganisir dalam cara tertentu (sistem syaraf dan otak); bahwa pikiran tidak dapat hadir dari dirinya sendiri, tapi hanya dapat timbul dari dunia objektif yang menyatakan dirinya kepada kita melalui alat-alat indera kita.

Para filsuf Yunani yang paling awal dikenal sebagai "hylozois" (dari bahasa Yunani, yang berarti "mereka yang percaya bahwa materi itu hidup"). Di sini kita mendapati sederetan panjang pahlawan yang mempelopori perkembangan pemikiran. Orang-orang Yunani menemukan bahwa dunia itu bulat, jauh sebelum Columbus. Mereka menerangkan bahwa manusia berevolusi dari ikan jauh sebelum Darwin. Mereka membuat penemuan-penemuan luar biasa dalam bidang matematik, yang tak diubah banyak selama satu setengah milenia. Mereka menemukan mekanika dan bahkan membuat satu mesin uap. Hal baru yang mengejutkan dalam cara memandang dunia ini adalah bahwa cara itu tidaklah religius. Berseberangan mutlak dengan orang-orang Mesir dan Babilonia, dari mana mereka banyak belajar, orang-orang Yunani tidaklah menyerahkan penjelasan atas gejala alam kepada para dewa dan dewi. Untuk pertama kalinya, manusia mencoba bekerjanya alam murni dengan mempelajari alam itu sendiri. Ini adalah satu dari titik balik terbesar dalam seluruh sejarah perkembangan pemikiran manusia. Ilmu pengetahuan yang sejati bermula di sini.

Aristoteles, yang terbesar dari seluruh filsuf jaman kuno, dapat dianggap seorang materialis, sekalipun ia tidaklah sekonsisten para hylozois pertama. Ia membuat serangkaian penemuan ilmiah yang merupakan basis bagi pencapaian-pencapaian besar sepanjang masa-masa Alexander.

Abad pertengahan yang menyusul runtuhnya Jaman Kuno adalah satu padang tandus di mana pemikiran ilmiah berdiri terkucil selama berabad-abad. Bukan satu kebetulan bahwa masa ini didominasi oleh Gereja. Idealisme adalah satu-satunya filsafat yang diperbolehkan, apakah itu dalam bentuk Platonis karikatural atau bahkan, lebih buruk lagi, satu penyimpangan atas filsafat Aristoteles.

Ilmu pengetahuan muncul kembali dengan jaya dalam masa Jaman Pencerahan. Di sana ia dipaksa untuk melancarkan perang yang ganas terhadap pengaruh agama (bukan hanya Katolik, melainkan juga Protestan). Banyak martir yang harus membayar harga kebebasan ilmiah dengan nyawanya sendiri. Giordano Bruno dibakar hidup-hidup di tiang bakaran. Galileo dua kali diadili oleh Pengadilan Inkuisisi, dan dipaksa dengan siksaan untuk meyangkal pandangan-pandangannya.

Kecenderungan filosofis yang dominan dalam Jaman Pencerahan adalah materialisme. Di Inggris, kecenderungan ini mengambil bentuk empirisisme, aliran pemikiran yang menyatakan bahwa semua pengetahuan merupakan turunan dari perasaan inderawi. Pelopor dari aliran ini adalah Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran materialis berkisar dari Inggris ke Perancis di mana ia memperoleh satu suntikan isi revolusioner. Di tangan Diderot, Rousseau, Holbach, dan Helvetius, filsafat menjadi satu alat untuk mengkritisi seluruh tatanan masyarakat yang ada. Para pemikir besar ini menyiapkan jalan untuk penggulingan revolusioner atas monarki feudal di tahun 1789-93.

Pandangan filosofis yang baru ini merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, mendorong dilakukannya percobaan-percobaan dan pengamatan-pengamatan. Di abad ke-18 terjadilah satu kemajuan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, terutama di bidang mekanika. Tapi fakta ini memiliki sisi negatif, seiring dengan sisi positifnya. Materialisme lama di abad ke-18 bersifat sempit dan kaku, suatu cerminan dari perkembangan ilmu pengetahuan yang masih terbatas. Newton menyatakan batasan empirisisme dalam kalimatnya yang terkenal, "Saya tidak membuat hipotese apapun." Pandangan mekanis yang sepihak ini akhirnya terbukti fatal bagi materialisme lama. Secara paradoks, perkembangan terbesar dalam filsafat setelah 1700 justru dibuat oleh para filsuf idealis.

Di bawah pengaruh revolusi Perancis, filsuf idealis Jerman Immanuel Kant (1724-1804) meletakkan semua filsafat yang hadir sebelum jamannya ke bawah hujan badai kritisisme. Kant membuat penemuan-penemuan penting bukan hanya dalam filsafat dan logika tapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan. Hipetesisnya tentang asal-usul alam semesta yang diperkirakannya berasal dari kabut gas nebula (yang kemudian diberi basis matematik oleh Laplace) sekarang secara umum diterima sebagai kebenaran. Di bidang filsafat, adikarya Kant The Critique of Pure Reason adalah karya pertama yang menganalisa bentuk-bentuk logika yang telah tinggal tak berubah setelah bentuk-bentuk itu dirumuskan pertama kali oleh Aristoteles. Kant menunjukkan kontradiksi yang secara implisit terdapat dalam kebanyakan proposisi mendasar filsafat. Walau demikian, ia gagal menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini ("Antinomi"), dan akhirnya menarik kesimpulan bahwa mustahil kita mendapatkan kebenaran yang sejati tentang alam semesta. Walau kita dapat mengetahui apa yang nampak, kita tidak akan pernah tahu "apa yang ada di dalamnya".

Ide ini bukanlah sesuatu yang baru. Ide ini adalah tema yang telah berulang berkali-kali dalam sejarah filsafat, dan merupakan apa yang dikenal dengan istilah idealisme subjektif. Ini dikemukakan sebelum Kant oleh seorang uskup dan filsuf dari Irlandia, George Berkeley, dan digemakan juga oleh empirisis klasik Inggris, David Hume. Argumen dasarnya dapat diringkaskan sebagai berikut: "Saya menginterpretasi dunia melalui indera saya. Dengan demikian, semua yang saya tahu benar-benar ada adalah citra yang ditangkap oleh indera saya. Dapatkah saya, contohnya, bersumpah bahwa sebuah apel benar-benar ada? Tidak. Apa yang saya dapat katakan adalah saya melihatnya, saya merasakannya, saya menciumnya, saya mengecapnya. Dengan demikian, saya tidak dapat benar-benar menyatakan bahwa dunia material benar-benar ada." Logika dari idealisme subjektif adalah bahwa, jika saya menutup mata saya, dunia ini akan menghilang. Pada ujungnya, filsafat ini akan membawa kita pada solipisme (dari bahasa Latin "solo ipsus" - "saya sendiri"), ide bahwa hanya saya sendiri yang ada, yang lain tidak ada.

Ide ini mungkin tidak masuk nalar bagi kita, tapi mereka telah terbukti tetap bertahan. Melalui satu atau lain cara, prasangka idealisme subjektif telah merasuki bukan hanya filsafat tapi juga ilmu pengetahuan, bahkan pada sebagian besar abad ke-20. Kita akan melihat kecenderungan ini lebih lanjut di belakang.

Terobosan terbesar datang dalam dekade pertama abad ke-19 melalui George Wilhelm Hegel (1770-1831). Hegel adalah seorang filsuf idealis Jerman, seorang yang kejeniusannya menjulang setinggi langit, yang dengan efektif telah meringkas dalam tulisannya seluruh kesejarahan filsafat.

Hegel menunjukkan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi "Antinomi" Kant adalah dengan menerima bahwa kontradiksi itu benar-benar ada, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam dunia nyata. Sebagai seorang idealis objektif, Hegel tidak mempedulikan argumen kaum idealis subjektif bahwa pikiran manusia tidak mungkin memahami dunia nyata. Bentuk-bentuk pikiran harus mencerminkan dunia objektif semirip mungkin. Proses pengetahuan mengandung satu penetrasi yang semakin lama semakin dalam menerobos realitas, maju dari yang abstrak ke yang kongkrit, dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, dari yang khusus menuju yang umum.

Metode berpikir yang dialektik ini telah memainkan satu peran besar di Jaman Kuno, khususnya dalam ujar-ujar yang naif tapi brilian dari Heraclitus (c. 500 SM), tapi juga dalam pemikiran Aristoteles dan yang lain-lain. metode ini ditinggalkan di Abad Pertengahan, ketika Gereja mengubah logika formal Aristoteles menjadi dogma yang kaku dan mati. Metode ini tidak muncul-muncul lagi sampai Kant mengembalikannya ke tempat yang terhormat. Walau demikian, dalam filsafat Kant dialektika tidaklah menerima perlakuan yang cukup untuk memperkembangkannya. Tugas untuk membawa ilmu berpikir dialektik ke tingkat perkembangannya yang tertinggi jatuh ke tangan Hegel.

Kebesaran Hegel ditunjukkan oleh fakta bahwa hanya dia sendiri yang siap menantang filsafat mekanisme yang dominan pada masa itu. Filsafat dialektika Hegel mengurusi proses, bukan hal-hal yang saling terisolasi satu sama lain. Filsafat itu mengurusi segala hal dalam masa kehidupannya, bukan dalam kematiannya, dalam kesalingterhubungannya, bukan dalam kesalingterpisahannya. Ini adalah cara memandang dunia yang benar-benar modern dan ilmiah. Sesungguhnya, dalam banyak aspek, Hegel maju jauh lebih dahulu dari jamannya. Walau demikian, sekalipun ia memiliki pandangan yang sering gemilang, filsafat Hegel pada akhirnya tidaklah cukup memuaskan. Kekurangannya yang utama adalah sudut pandangnya yang idealis, yang menghalanginya dalam menerapkan metode dialektika pada dunia nyata dengan cara yang ilmiah dan konsisten. Bukannya mendapat dunia material, kita malah mendapat dunia Ide Absolut, di mana benda-benda nyata, proses dan manusia digantikan oleh bayangan-bayangan tak berbentuk. Mengutip Frederick Engels, dialektika Hegelian adalah filsafat yang paling abortif [gugur sebelum waktunya, pen.] sepanjang sejarah filsafat. Ide-ide yang tepat di sini terlihat berdiri di atas kepala mereka sendiri. Untuk menempatkan dialektika di atas pondasi yang kukuh, sangatlah penting untuk memutarbalikkan filsafat Hegel, untuk mengubah dialektika idealis menjadi materialisme dialektik. Yang ini adalah pencapaian besar dari Karl Marx dan Frederick Engels. Studi kita dimulai dengan satu ulasan ringkas tentang hukum-hukum dasar materialisme dialektik yang mereka kemukakan.

Apa itu Silogisme ?

"Pemikiran logis, pemikiran formal secara umum," ujar Leon Trotsky, "disusun di atas basis metode deduktif, maju dari silogisme yang lebih umum melalui sejumlah premis menuju satu kesimpulan yang sewajarnya. Rantai silogisme semacam itu disebut dengan sorites.

Aristoteles adalah orang pertama yang menulis satu sistematika atas logika formal dan logika dialektik, sebagai cara menyusun pikiran. Tujuan dari logika formal adalah untuk menyediakan kerangka kerja untuk membedakan argumen yang sahih dan yang tidak sahih. Hal ini dilakukannya dalam bentuk silogisme. Ada berbagai bentuk silogisme, yang sebenarnya merupakan varian dari tema yang sama.

Artistoteles, dalam bukunya Organon, menyebut sepuluh kategori - substansi, kuantitas, kualitas, hubungan, tempat, waktu, posisi, keadaan, aksi, gairah - yang membentuk basis bagi logika dialektik, yang kemudian disempurnakan dalam tulisan-tulisan Hegel. Sisi lain dari karya Aristoteles tentang logika ini sering diabaikan. Bertrand Russell, contohnya, menganggap bahwa kategori-kategori ini tidak bermakna. Tapi karena para positivis logis seperti Russell telah secara praktis mencoret seluruh sejarah filsafat (kecuali potongan-potongan yang bersesuaian dengan dogma-dogma mereka) sebagai "tidak bermakna", hal ini seharusnya tidak terlalu mengejutkan atau merepotkan kita.

Silogisme adalah cara berpikir logis, yang dapat digambarkan dengan berbagai cara. Definisi yang diberikan Aristoteles sendiri adalah sebagai berikut: "Satu diskursus di mana berbagai hal dinyatakan, hal-hal lain yang tidak dinyatakan harus mengikuti apa yang dinyatakan karena hal-hal itu dinyatakan demikan." Definisi yang paling sederhana diberikan oleh A. A. Luce: "Sebuah silogisme adalah satu triad [pasangan ganda tiga] dari proposisi yang yang saling berhubungan, terhubung sedemikian rupa sehingga salah satu dari ketiganya, yang disebut Kesimpulan, harus mengikuti kedua pernyataan yang lain, yang disebut Premis."[vi]

Orang-orang Terpelajar dari abad pertengahan memusatkan perhatian mereka pada jenis logika formal yang dikembangkan Aristoteles dalam The Prior and Posterior Analytics. Dalam bentuk inilah logika Aristoteles diwariskan sampai Abad Pertengahan. Dalam prakteknya, silogisme ini mengandung dua premis dan satu kesimpulan. Subjek maupun predikat dari kesimpulan masing-masing muncul dalam salah satu dari kedua premis, bersama dengan bagian ketiga (termin tengah) yang ditemukan dalam kedua premis, tapi tidak di dalam kesimpulan. Predikat dari kesimpulan adalah termin mayor; premis di mana ia terkandung disebut premis mayor; subjek dari kesimpulan adalah termin minor; dan premis di mana ia terkandung disebut premis minor. Contohnya,

a) Semua manusia adalah fana. (Premis mayor)

b) Caesar adalah seorang manusia. (Premis minor)

c) Dengan demikian, Caesar adalah fana. (Kesimpulan)

Ini disebut satu pernyataan kategorikal afirmatif. Pernyataan ini memberi kesan sebagai sebuah rantai logis dari sebuah argumen, di mana tiap tahap niscaya diturunkan sebagai hasil dari tahap sebelumnya. Tapi, sebenarnya, bukan itu yang terjadi, karena "Caesar" sebenarnya telah termasuk dalam himpunan "semua manusia". Kant, seperti Hegel, menganggap rendah silogisme ("doktrin yang bertele-tele," ujar Kant). Baginya, silogisme "tidaklah lebih dari sekedar satu tipuan" di mana kesimpulan sebenarnya telah disisipkan tersembunyi dalam premis sehingga kesan berpikir yang ditimbulkannya adalah palsu.[vii]

Jenis lain silogisme berbentuk kondisional (jika ... maka ...), contohnya: "Jika seekor hewan adalah seekor harimau, maka ia adalah pemakan daging." Ini adalah cara lain untuk menyatakan hal yang sama dengan pernyataan kategorikal afirmatif, yaitu, semua harimau adalah pemakan daging. Hubungan yang sama terjadi pada bentuk negatifnya - "Jika ia adalah seekor ikan, maka ia bukanlah hewan menyusui" adalah cara lain untuk menyatakan "Tidak ada ikan yang menyusui". Perbedaan formal ini menyembunyikan fakta bahwa kita belum maju selangkahpun dalam pemikiran kita.

Apa yang sebenarnya baru saja ditunjukkan adalah hubungan internal antara berbagai hal, bukan hanya dalam pikiran tapi juga dalam dunia nyata. "A" dan "B" terhubung dengan satu cara tertentu terhadap "C" (bagian tengah) dan premis-premis, dengan demikian, mereka terhubung satu sama lain di dalam kesimpulan. Dengan pemahaman dan kedalaman yang dahsyat, Hegel menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkan oleh silogisme adalah hubungan dari yang khusus ke yang umum. Dengan kata lain, silogisme itu sendiri adalah satu contoh dari kesatuan hal-hal yang bertentangan, kontradiksi dalam tingkatan paling sempurna, dan bahwa, dalam kenyataannya, segala hal adalah "silogisme".

Masa keemasan silogisme terjadi dalam Abad Pertengahan, ketika Orang-orang Terpelajar mengabdikan seluruh hidup mereka dalam perdebatan tanpa ujung tentang segala persoalan teologis yang kabur, seperti "apa jenis kelamin malaikat?" Konstruksi logika formal yang berbelit-belit itu membuat mereka nampak sedang terlibat dalam satu diskusi yang mendasar padahal, kenyataannya, mereka tidak sedang berdebat sama sekali. Alasannya terletak persis pada sifat logika formal itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, logika ini hanya mengurusi segala yang memiliki bentuk [form]. Masalah tentang hakikat atau isi tidak termasuk di dalamnya. Persis inilah cacat utama dari logika formal, dan sekaligus adalah urat Achilles-nya.

Pada masa Jaman Pencerahan, pembangkitan kembali semangat kemanusiaan, ketidakpuasan terhadap logika Aristotelian meluas dengan cepat. Terjadilah satu peningkatan reaksi melawan Aristoteles, yang sesungguhnya tidak adil terhadap pemikir besar ini, tapi sesungguhnya berakar dari fakta bahwa Gereja telah menindas segala yang berharga dalam filsafatnya, dan memelihara karikatur yang tak bernyawa dari filsafat yang sangat tinggi nilainya itu. Bagi Aristoteles, silogisme hanyalah satu proses dalam tata berpikir, dan tidak harus juga menjadi bagian yang terpenting darinya. Aristoteles juga menulis tentang dialektika, dan tapi aspek ini dilupakan. Logika dilucuti dari segala kehidupan yang dimilikinya dan diubah, mengutip Hegel, menjadi "tulang-tulang tak bernyawa."

Penolakan terhadap formalisme tak bernyawa ini tercermin dalam gerakan terhadap empirisisme, yang membuahi janin penyelidikan dan percobaan ilmiah. Walau demikian, mustahillah untuk sama sekali mengabaikan sama sekali satu bentuk pemikiran, dan empirisisme telah sejak kelahirannya membawa benih-benih kehancurannya sendiri. Satu-satunya alternatif yang berharga untuk metode berpikir yang penuh kekurangan dan tidak tepat ini adalah dengan mengembangkan metode yang tepat dan tanpa kekurangan.

Di akhir Abad Pertengahan, silogisme telah sama sekali dipermalukan di mana-mana, dan dihinakan dan dilecehkan. Rabelais, Petrach dan Montaigne, semua menyangkal kebenaran silogisme. Tapi silogisme masih terus bertahan, terutama di negeri-negeri Katolik, yang tidak tersentuh oleh badai yang ditiupkan oleh Reformasi Protestan. Di akhir abad ke-18, logika berada dalam keadaan yang demikian buruk sehingga Kant merasa berkewajiban untuk meluncurkan satu kritik umum terhadap bentuk-bentuk cara berpikir lama dalam bukunya Critique of Pure Reason.

Hegel adalah orang pertama yang menempatkan hukum-hukum logika formal ke dalam analisis yang sepenuhnya kritis. Di dalam analisis ini ia menyempurnakan kerja yang telah dimulai oleh Kant. Tapi di mana Kant hanya menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kontradiksi yang terkandung di dalam logika tradisional, Hegel maju lebih jauh, menguraikan satu pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap logika, satu pendekatan dinamis yang akan memasukkan pergerakan dan kontradiksi ke dalam logika, dua hal yang tidak sanggup ditangani oleh logika formal.