Biografi Ibnu Khaldun

Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana.
Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes,
Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara.

SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.
Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan
Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of
Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke
lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuanserta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
ADA beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”
Ibnu Khaldun wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M. Ia telah mencetuskan sejumlah teori dasar ekonomi modern jauh sebelum Adam Smith dan David Ricardo.

Pada puncak kejayaannya, dunia Islam tak hanya unggul dalam bidang politik dan militer saja. Salah satu faktor penting yang menopang kemajuan Kekhalifahan Islam di era keemasan adalah sistem perekonomian yang kuat. Dengan menguasai ekonomi dunia, dunia Islam sempat menjadi adikuasa yang disegani.

Dunia Islam di era keemasan memiliki sederet ekonom yang telah mencurahkan pemikirannya untuk membangun Kekhalifahan Islam. Salah satunya adalah Ibnu Khaldun. Sejatinya, ia adalah ilmuwan Muslim yang serbabisa. Namun, cendekiawan Muslim yang terlahir di Tunisia itu juga telah menyumbangkan pemikirannya tentang ekonomi.

Ibnu Khaldun sudah mencetuskan berbagai macam teori ekonomi, jauh sebelum lahirnya para ekonom Barat yang diklaim sebagai bapak ekonomi seperti Adam Smith (1723-1790 M) dan David Ricardo (1772-1823). Ibnu Khaldun telah mencetuskan sejumlah teori dasar ekonomi modern yang hingga kini masih tetap berlaku.

Teori-teori yang dicetuskannya merupakan hasil pemikiran yang terlahir dari hasil pengamatannya terhadap berbagai masyarakat yang kemudian dipadukan dengan analisis tajam dengan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Tak heran jika Ibnu Khaldun sempat didaulat sebagai guru besar Universitas al-Azhar Kairo yang dibangun Dinasti Fatimiyah.

Selama mengabdikan dirinya di salah satu universitas tertua dan terkemuka di dunia itu, Ibnu Khaldun menulis sederet karya fenomel di bidang ekonomi, yang hingga kini masih menjadi obyek studi. Lantas apa sumbangan Ibnu Khaldun dalam bidang ekonomi?

Ibnu Khaldun tercatat sebagai ekonom pertama yang secara sistematis menganalisis fungsi ekonomi, pentingnya teknologi, spesialisasi dan perdagangan ke luar negeri jika negara mengalami surplus ekonomi. Ia juga menekankan peran pemerintah dan kebijakan stabilisasi untuk meningkatkan output produksi serta pembukaan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat.

Sang ekonom telah mempelajari ekonomi, sosiologi, ilmu politik dan berbagai ilmu lainnyauntuk memahami perilaku manusia dan sejarah. Dia mengungkapkan fakta bahwa spesialisasi merupakan sumber utama terjadinya surplus ekonomi. Pernyataan tersebut diungkapkan hampir tiga abad sebelum Adam Smith mengungkapkannya.

Menurut Ibnu Khaldun, ketika ada suatu lingkungan yang kondusif untuk melakukan spesialisasi, maka sebaiknya pengusaha didorong untuk melakukan perdagangan dan produksi lebih lanjut. Dengan spesialisasi, seseorang bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak dari usahanya.

Dalam menjelaskan spesialisasi, Ibnu Khaldun mengatakan, ''Setiap jenis kerajinan tertentu harus dihasilkan oleh orang-orang yang mahir dan terampil dalam membuat kerajinan tersebut. Semakin banyak berbagai subdivisi dari suatu kerajinan, maka semakin besar pula jumlah orang-orang yang harus mahir dalam membuat kerajinan tersebut.''

Para perajin, papar dia, harus mempunyai keahlian tertentu dan mereka dari hari ke hari semakin mahir dalam membuat kerajinan tangan. Pengetahuan mereka tentang kerajinan juga semakin banyak. Jika hal ini dilakukan dalam waktu yang lama, maka kerajinan akan berakar kuat dan bisa menjadi sumber mata pencaharian yang bagus.

Menurutnya, spesialisasi berarti koordinasi dari berbagai fungsi dari faktor produksi. Sehingga, orang-orang akan mendapatkan kepuasan yang lebih dengan melakukan kerja sama dari pada mengerjakannya sendirian. Selain itu, koordinasi dan kerja sama dalam proses produksi harus ada dalam kewirausahaan berdasarkan kekuatan pasar.

Ibnu Khaldun menganggap pekerja dan pengusaha sebagai pelaku ekonomi yang dihormati dalam masyarakat. Keduanya mencoba untuk memaksimalkan kegiatan mereka untuk mendapatkan upah dan laba. Baginya, keuntungan adalah motif utama dalam kewirausahaan. Sebab, dengan meraih banyak keuntungan diharapkan produksi bisa diperluas.

Sedangkan, perdagangan berarti usaha untuk meraih keuntungan dengan meningkatkan modal, melalui pembelian barang-barang dengan harga rendah lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Laba merupakan nilai yang direalisasikan dari tenaga kerja. Namun nilai ini, yakni harga tenaga kerja, ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan. Poin ini tidak terjawab oleh Karl Marx dan para pengikutnya.

Menurut Ibnu Khaldun, koordinasi, kerja sama dan arah faktor-faktor produksi dalam meningkatkan surplus ekonomi produktif, merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh pengusaha. Tujuannya untuk mencari keuntungan. Para pengusaha menghabiskan waktu, tenaga dan modal untuk mencari barang dan jasa lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi demi memperoleh keuntungan.

Ibnu Khaldun memuji prakarsa para pengusaha dalam kegiatan produktif mereka dan mereka pantas mendapat keuntungan dari usaha mereka yang berisiko. Bahkan Karl Marx dan David Ricardo kurang bisa memahami hal tersebut.

Selain itu, sang ekonom Musim legendaris itu juga mengungkapkan sebuah teori ekonomi yang menyatakan harga barang dan jasa ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Ketika suatu barang langka dan permintaan naik, maka harga menjadi tinggi. Para pedagang akan membeli barang di pusat barang tersebut diproduksi. Sehingga mereka bisa membeli dengan harga murah.

''Lalu mereka akan menjual barang tersebut di daerah yang barang tersebut masih dianggap langka serta tentu saja yang permintaan terhadap barang tersebut tinggi,'' papar Ibnu Khaldun. Dengan demikian, kata dia, para pedagang bisa menjual barangnya dengan harga tinggi dan mendapat laba yang lebih banyak.

Namun ketika pada suatu tempat terdapat barang yang jumlahnya berlimpah, maka harga barang menjadi rendah. Ibnu Khaldun juga telah berhasil menunjukkan konsep biaya jangka panjang produksi. Ia juga terus menekankan kebijakan moneter yang stabil. Ibnu Khaldun benar-benar menentang kebijakan-kebijakan yang bisa memainkan nilai mata uang.

Dia khawatir, pihak berwenang tergoda untuk mempermainkan nilai mata uang untuk mendapatkan keuntungan guna membangun istana dan membayar gaji para tentara bayaran. Jika pihak berwenang sampai melakukan hal itu, maka bisa terjadi inflasi dan penduduk akan kehilangan kepercayaan terhadap mata uang.

Menurut Ibnu Khaldun, perlindungan terhadap daya beli uang itu harus dilaksanakan sebagai bentuk keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu, dia mengusulkan berdirinya badan moneter yang independen di bawah kekuasaan Hakim Agung, yang takut kepada Allah SWT. Sebab jika dibawah penguasa yang tidak takut Allah SWT, maka penguasa tersebut bisa mempermainkan nilai mata uang demi keuntungan pribadi.

Pajak dalam Pandangan Ekonom Legendaris
Dalam sebuah risalah ekonomi yang ditulisnya, Ibnu Khaldun pernah menulis dan membahas masalah pajak. Tulisan tersebut tercantum dalam bukunya yang fenomenal berjudul Muqqadimah. Tulisan tentang pajak termuat pada bagian faktor pemicu peningkatan dan penurunan pendapatan negara/kerajaan.

Menurut Ibnu Khaldun, sebuah kerajaan yang baru saja didirikan, memungut pajak dari rakyatnya dalam jumlah yang tak terlalu besar.. Tetapi, ketika kerajaan tersebut semakin berkembang, maka pajak yang dipungut dari rakyatnya juga kian besar.

Jika para pendiri kekaisaran/kesultanan mengikuti jalan agama, mereka akan menerapkan pajak yang disahkan oleh hukum Tuhan yang mencakup zakat, kharaj (pajak tanah), dan jizyah. Baik zakat, kharaj, maupun jizyah jumlahnya tidak terlalu memberatkan bagi masyarakat. Lagi pula pajak semacam itu sudah tetap dan tidak bisa dinaikkan.

Ibnu Khaldun berpendapat, sebuah kerajaan yang dibangun dalam sistem suku dan penaklukan merupakan nomaden. Sebenarnya, kata dia, peradaban dibentuk untuk membuat para penguasa menjadi penuh kebaikan, kesabaran. Sehingga, kata dia, pajak dan kewajiban-kewajiban pribadi yang digunakan untuk memberikan pendapatan kepada kerajaan seharusnya tak memberatkan.

''Jika pajak tak memberatkan, maka subjek pajak akan melaksanakan kewajiban mereka dengan penuh antusiasme,'' papar Ibnu Khaldun. Menurutnya, masyarakat akan giat bekerja untuk menyisihkan sebagian penghasilannya, guna membayar pajak yang ringan. Sehingga akan lebih banyak orang yang bekerja keras untuk meraih pendapatan. Hasilnya, orang yang membayar pajak akan meningkat dan pendapatan negara juga bertambah.

Menurut dia, ketika sebuah kerajaan telah mengalami periode yang cukup panjang dan mulai menetap, tidak nomaden lagi, kaka kerajaan akan melakukan kegiatan bisnis. Kemudian kesederhanaan, tata krama, dan kesabaran mulai menghilang. Administrasi dituntut lebih detil.

Anggota kerajaan semakin sejahtera dan penuh dengan kesenangan.
''Mereka hidup dalam kemewahan dan kebutuhan baru yang kurang penting mulai bermunculan,'' tuturnya. Hal itu, ungkap Ibnu Khaldun, mendorong kerajaan untuk menaikkan pajak pada semua golongan masyarakat, termasuk petani.

Mereka ingin pajak membawa lebih banyak keuntungan bagi negara. Mereka juga memaksakan penjualan produk-produk pertanian ke kota-kota. Ketika pengeluaran untuk pembelian barang mewah semakin meningkat dalam pemerintahan, maka pajak pun pasti naik.

Akibatnya, rakyat semakin terbebani dan itu membuat semangat para petani untuk bekerja semakin luntur. Sebab semakin banyak pendapatan yang mereka hasilkan, kian besar pula pajak yang harus ditanggung.

Ketika petani membandingkan antara biaya pengeluaran dengan pendapatan. Mereka jadi semakin kecewa. Sehingga mereka meninggalkan pertanian. Hal ini menimbulkan penurunan pajak yang dikumpulkan oleh negara. Sehingga pendapatan negara berkurang.
''Oleh karena itu, sebaiknya negara atau pemerintah tidak menerapkan pajak yang terlalu tinggi kepada masyarakatnya supaya mereka giat bekerja,'' papar Ibnu Khaldun. Demikianlah salah satu sumbangan penting Ibnu Khaldun dalam bidang ekonomi.

SOSIALISME INDONESIA

Mewujudkan Kemerdekaan Sejati Menuju Sosialisme Indonesia
« Oldefo VS Nefo

Soekarno, Proklamator dan Penggali Pancasila
Ir. Soekarno, lahir di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur 6 Juni 1901. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo (Probolinggo, Jawa Timur) dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai (Singgaraja, Bali). Meninggal di Wisma Yaso, Jakarta 21 Juni 1970, Adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila.
Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya berasal dari Bali. Ibunya, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar. “Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.” (Adams, 2000:24)
Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik. “Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan.” (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik. “Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya.”
Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya Gunung Kelud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, “Orang yang percaya kepada takhayul meramalkan, ‘Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno,” Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya. Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400).
Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan Indonesia. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. Soekarno sebagai ideolog yang piawai menyebarkan kepercayaan-kepercayaannya. Strategi penyebaran ideologi yang oleh Terry Eagleton (1991) terdiri dari rasionalisasi, universalisasi, dan naturalisasi, dengan baik dimanfaatkan Soekarno dalam tulisan-tulisannya.
Rasionalisasi tampil dalam argumentasi-argumentasi yang diusahakan tersusun selogis mungkin dan menggunakan rujukan-rujukan teori-teori ilmuwan terkemuka seperti Herbert Spencer, Havelock Ellis, dan Ernst Renan. Rasionalisasi dapat ditemukan dalam setiap karangannya, termasuk penggunaan data statistik demi memperkuat pendapatnya. Strategi universalisasi dalam tulisan dan karangan Soekarno melibatkan ajaran-ajaran agama kutipan dari tokoh ternama dalam sejarah dan peristiwa penting dalam peradaban manusia. Gagasan-gagasannya seolah berlaku universal dan diperlukan di mana-mana.”Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: “Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim” (Pidato 17 Agustus 1964) “Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bias memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun”. (Pidato 17 Agustus 1965) “Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.” (Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945) Strategi naturalisasi merupakan usaha menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah. Ini banyak ditemukan dalam pidato-pidato Soekarno. Penjelasan-penjelasannya tentang Pancasila sangat jelas menggunakan naturalisasi. “Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia.” (Pancasila sebagai Dasar Negara, hal:38) Bukan hal yang aneh jika Soekarno berkembang menjadi seorang ideolog. Kepercayaan sejak kecil tentang kemuliaan, kepeloporan dan kepemimpinannya, mendorong kuat Bung Besar ini menyebarkan kebenarannya. Gambaran diri yang fiktif dan mistis ini pula yang memberinya kepercayaan diri tampil berapi-api di depan lautan massa. Pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Pada tahun 1926 ini pula terbit artikelnya yang terkenal “Nasionalisme, Islamisme dan marxisme” dalam suluh Indonesia muda, pernyataan Soekarno dalam artikel tersebut “Bukan kita mengharap yang nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan anatra tiga golongan itu”. ditulis akibat keprihatinan dia atas perseteruan SI putih pimpinan Agus Salim dengan SI merah (Sarekat Rakyat) Semaun dkk. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk “mengamankan” keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hookokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.

Perang Revolusi Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke Negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai “kabinet semumur jagung” membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai “penyakit kepartaian”. Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Dengan Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Hal tersebut nampak daam ungkapannya “AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan, simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah.
Adalah penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Diantaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk mempunyai peranan yang langsung di dalam system politik. “Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh duduk dalam parlemen adalah tentara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat “bom waktu” yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia “bercerai” dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat “memenuhi” cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh suksesornya yang “durhaka” Jenderal Suharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno

Negara - negara Sebelum Kemerdekaan

Oleh : Hendri Ansori
Pada abad XIV dan XV dua Negara besar yang mendominasi pada periode ini yaitu Majapahit Jawa Timur dan Malaka di Malaya, Majapahit adalah Negara terbesar diantara Negara-negara yang ada di Indonesia sebelum datangnya Islam, Malaka mungkin merupakan kerajaan yang terbesar diantara kerajaan-kerajaan yang menganut agama islam. Keduanya melambangkan zaman peralihan di Indonesia pada abad tersebut.
Sebelum membahas Majapahit dan Malaka, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu membicarakan ciri-ciri umum dari Negara-negara yang ada di Indonesia sebelum masa penjajahan, tampak jelas bahwa ciri-ciri umum tertentu dari Negara yang ada di Indonesia tidaklah berubah selama beberapa abad. Khususnya, kondisi tanah dan iklim di daerah tersebut menciptakan pengaruh penting, bukan hanya terhadap pertanian dan perdagangan, melainkan juga terhadap formasi Negara.
Jawa mampunyai sederetan gunung berapi yang berjajar dari timur ke baarat di sepanjang pulau itu. Gunung-gunng dan dataran-dataran tinggi lainnya membantu memisahkan wilayah pedalaman menjadi kawasan-kawasan yang relakatif terpencil yang sangat cocok bagi persawahan. Daerah-daerah padi di jawa itu merupakan salah satu yang terkaya di dunia. Jalur-jaur perhubungan di utama di jawa adalah sungai-sungai yang sebagian besarnya relitif pendek-pendek. Sungai-sungai yang paling cocok untuk hubungan jarak jauh hanyalah sunga brantas dan bengawan solo, dan tidak mengherankan apabila lembah-lembah kedua sungai tersebut menjadi pusat-pusat kerajaan besar.
Pulau jawa terdiri atas kelompok-kelompok penduduk yang relative terpisah satu sama lainnya. Penduduk jawa pada abad tersebut tidak diketahui, namun beberapa sumber menyebutkan penduduk jawa saat itu kira lima juta pada abad XIII, namun dengan ukuran abad XXI jawa tetap berpenduduk sangat jarang, sehingga banyak daerah yang tidak berpenduduk. Hal ini menyebabkan setia kerajaan besar di wilayah pedalaman jawa memerlukan suatu bentuk kekuasaan pusat atas daerah terpencil semacam itu. Kerajaan-kerajaan di jawa pada dasarnya adalah kerajaan-kerajaan pedalaman, karena kesulitan-kesulitan perhubungan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perdagangan luar negeri bukanlah kegiatan utama kerjaan pedalaman seperti itu.
Keadaan pulau di luar jawa, Negara-negara terbentuk dalam kondisi fisik yang agak berbeda, disini juga sebagian besar permukaan tanah terdiri atas gunung-gunung, dataran-dataran rendah , dan hutan belantara, sedangkan banyak daerah pantai merupakan rawa-rawa.. sebagian besar Negara-negara terbentuk di daerah-daerah pantai yang sangat cocok untuk pertanian padi. Focus Negara-negara seperti itu diarahkan pada wilayah-wilayah pedalaman sejauh ada bahan pangan atau hasil perdagangan penting yang dapat diperoleh disitu seperti, emas, lada dan lain-lain.
Di seluruh nusantara, para pedagang memperjualbelikan beras, lada, dan tekstil dalam jumlah yang besar. Pulau jawa merupakan penghasil beras terbesar di asia tenggara sampai abad XIX, sedangkan sumatera adalah eksportir lada. Para pedagang asing dating ke Indonesia khususnya untuk mendapatkan hasil-hasil hutan yang bernilai tinggi, seperti kamper, cendana, serta emas dari sumatera dan Kalimantan barat. Terutama, mereka memburu lada dari Indonesia bagian barat, serta cengkeh, pala, dan bunga pala dari maluku. Jawa dipandang sebagai masyarakat hidrolis yang didasarkan pada pertanian sawah, sedangkan Negara-negara luar jawa sebgai kawasan-kawasan yang terutama tergantung pada perdagangan luar negeri. Akantetapi stereotip ini tidak sepenuhnya memuaskan. Negara-negara luar jawa biasanya tergantung pada pertanian sawah untuk menghidupi rakyat mereka, sekalipun benar bahwa sebagian dari Negara-negara terbesar seperti Malaka, Aceh, Banten, dan Gowa, menghidupi rakyat mereka dengan terutama dengan beras yang diimpor dari pesisir utara jawa. Perbedaan pokok antara kedua jenis Negara tersebut adalah arah kegiatan-kegiatan yang dipengaruhi oleh keadaan alamnya ; diluar jawa adalah keluar, sedangkan di jawa ke dalam.
Kondisi ekonomi dan politik di seluruh nusantara pra-kolonial memiliki banyak kesamaan. Di semua daerah, jumlah penduduknya sangat terbatas, dan oleh karenanya merupakan basis yang terbatas pula bagi perpajakan dan sumber daya manusia untuk penanaman padi dan pembentukan tentara. Oleh karena itulah kadang-kadang salah satu tujuan perang adalah memindahkan penduduk dari daerah yang ditaklukkan ke wilayah pihak yang menang. Terisolasinya wilayah yang berpenduduk dan buruknya komunikasi menyebabkan sulitnya penyelenggaraan kekuasaan terpusat atas beberapa wilayah yang berpenduduk. Di Jawa, cara pemecahannya adalah dengan menerapkan sisitem kerajaan terbatas, dengan pemberian otonomi yang luas kepada para penguasa local. Sama halnya, kerajaan-kerajaan luar jawa seringkali terpaksa harus memberi otonomi yang luas kepada para vassal mereka. Oleh karena itu, selalu timbul ketegangan-ketegangan di dalam Negara-negar yang besar sebagai akibat terjadinya benturan antara kepentingan pusat dengan kepentingan daerah.
Seorang penguasa pusat mempunyai tiga teknik utama yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Pertama, dia dapat memberi otonomi yang cukup luas dan keuntungan-keuntungan langsung yang berbentuk kekayaan, martabat, dan perlindungan kepada penguasa daerah dan lawan-lawan lain yang potensial, seperti para pangeran dan pimpinan daerah, sebagai imbalan bagi dukungan mereka kepadanya. Kedua, dia dapat memelihara kultus kebesaran mengenai dirinya dan istananya yang mencerminkan kekuatan-kekuatan gaib yang mendukung dirinya. Ketiga, dan yang paling penting diantara semua teknik, dia harus memiliki kekuatan meliter untuk menghancurakan setiap oposisi. Semua Negara di Indonesia prakolonial didirikan pada akhirnya atas kekuatan meliter yang tanggauh.
Di wilayah ini terdapat dua kerajaan besar pada XIV dan XV yakni, Majapahit dan Malaka. Majapahit adalah Negara Hindu-Budha. beberapa sumber yang merupakan prasasti-prasasti berbahasa jawa kuno, naskah Desawarnan atau Negara- kertagama berbahasa jawa kono yang ditulis pada tahun 1365, dikenal hanya dalam menuskrip-manuskrip yang lebuh kemudian, naskah paraton berbahasa jawa tengahan. Semua ini terdapat pada zaman tersebut.
Penguasa majapahit anatar lain kertarajasa jayawhardana memerintah pada tahun 1294 sampai dengan 1309, Jayanegara memerintah pada tahun 1309 sampai dengan 1328,setelah itu ratu Tribhuana Wijayottungga Dewi memerintah pada tahun 1328 sampai dengan 1350, Rajasanagara atau yang popular dengan nama Hayam Wuruk memerintah pada tahun 1350 sampai dengan 1389. masa pemerintahan hayam wuruklah merupakan zaman kekemasan kerajaan Majapahit, serta Desawarnana ditulis pada pemerintahannya juga. Selanjutnya pada tahun 1389 sampai dengan 1429 raja Wikramawarna memerintah, setelah raja ini digantikan oleh Ratu Suhita yang memerintah dari tahun 1429 sampai dengan 1447. Wjayaparakramawardhana memerintah dari tahun 1447 sampai dengan 1451, dan berikutnya Rajasawardhana yang memerintah 1451 sampai dengan 1453. setelah pemerintahan yang terakhir ini selama tiga tahun Majapahit mengalami kekosongan kursi kerajaan yang diakibatkan oleh krisis suksesi, Namun pada tahun 1456 sampai dengan 1466 Girisawardhana menduduki kursi sebagai raja, setelah itu Snghawikramawardhana memerintah dari tahun 1466 sampai dengan 1478.
Hubungan dagang kerajaan majapahit menghubungkan daerah-daerah yang merupakan kekuasaannya, bagi mereka perdagangan ini juga menjadi monopoli raja. Jadi, Majapahit merupakan Negara dan sekaligus pada waktu yang sama, Negara perdagangan. Pada tahun 1343, Majapahti menaklukkan Bali, serta mengirim suatu ekspedisi untuk menghukum Palembang di Sumatera. Majapahit juga mempunyai hubungan erta dengan Campa, Kamboja, Siam, birma bagian selatan, dan Vietnam, serta mengirim duta-dutanya ke Cina.
Akhir abad XIV dan awal abad XV, pengaruh kerajaan Majapahit mulai berkrang, pada waktu yang sama, berdiri suatu Negara perdagangan melayu yang baru di nusantara bagian barat yaitu Malaka. Seorang pangeran dari palembang bernama parameswara berhasil meloloskan diri sewaktu terjadi serangan Majapahit pada tahun 1377 dan akhirnya tiba di Malaka kirar-kira tahun 1400. ditempat ini dia menemui pelabuhan yang baik, yang dapat dirapati kapal-kapaldi segala musim dan terletak di bagian paling sempit dari selat malaka. Dengan bersekutu dengan orang laut seperti perompak-perompak pengembara di selat malaka, dia berhasil membuat malak menjadi suatu pelabuhan internasional yang besar dengan cara memaksa kapal-kapal yang lewat untuk singgah di pelabuhannya serta memberi fasilitas-fasilitas yang cukup baik dan dapat dipercaya bagi pergudangan dan perdagangan. Malaka mungkin merupakan contoh yang paling murni dari dari Negara pelabuhan transito Indonesia, karena Negara ini tidak memiliki hasil-hasil sendiri yang penting, Negara ini harus mengimpor bahan pangan untuk menghidupi rakyatnya. Malaka dengan cepat menjadi suatu pelabuhan yang sangat berhasil, karena Negara ini dapat menguasai selat Malaka, salah satu trayek yang paling menentukan dalam system perdagangan internasional yang membentang dari dari Cina dan Maluku di timur sampai Afrika timur dan laut tengah di barat.
Negara ini mendapat perlindungan dari Cina sejak tahun 1405, sehingga mereka berulangkali mengirim duta-dutanya ke Cina. juga sebaliknya cina mengirim armada besar-besaran mengunjungi malaka dibawah pimpinan Admiral Dinasti Ming, yang bernama Zheng He (atau yang popular di Indonesia akhir-akhir ini dengan nama Laksamana Cheng Ho), yang terus berlanjut sampai tahun 1434. perlindungan nyata dari Cina ini telah membantu Malaka untuk berdiri kokoh.
Awalnya Parameswara adalah seorang raja yang bergama Hindu-Budha , tetapi tentu dia telah memaksa dan menganjurkan supaya para pedagang yang beragama islam menggunakan pelabuhannya. Pada masa akhir pemerintahannya (1390-1413/14), dia menganut agama islam dan memakai nama Iskandar Syah. Para penggantinya, Megat Iskandar Syah yang memerintah dari1414 sampai dengan 11423/24 dan Muhammad Syah memerintah dari tahun 1424 sampai dengan 1444, mereka beragama Islam. Raja selanjutnya Parameswara Dewa Syah yang tidak lama memimpin Malaka karena terjadi kudeta di dalam kerajaan, dan digantikan oleh saudara sepupunya, Sultan Muzaffar Syah yang memerintah pada tahun 1446 sampai dengan tahun 1459.
Perdagangan Malaka menyebar luas sampai ke pulau-pulau di Indonesia, bahkan sampai berhubungan ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan laut tengah, ke utara sampai Siam dan Pegu, serta ke timur sampai Cina dan Jepang. Ini merupakan perdagangan yang terbesar di dunia pada masa itu, dan dua tempat pertukarannya yang penting adalah Guharat di India. Hasil yang paling berharaga untuk diperdagangkan dari Indonesia adalah rempah-rempah.

Kata Bung Karno "Marhaenisme"

AKU baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku. Mula‐mula ia hanya berupa kuncup dari suatu pemikiran yang mengorek‐ngorek otakku, akan tetapi tidak lama kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Di kepulauan kami terdapat pekerjapekerja yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu menyendihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian masing‐masing menjadi majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayannelayan yang bekerja sendiri dengan alat‐alat —seperti tongkat kail, kailnya dan perahu— kepunyaan sendiri. Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya. Orang‐orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik dari alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka punya sifat yhas tersendiri.
Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnya? Itulah yang menjadi renunganku berhari‐hari, bermalam‐malam dan berbulan‐bulan. Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang demikian, yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah “Penderita Minimum”? Di suatu pagi yang indah aku bangun dengan keinginan untuk tidak mengikuti kuliah, ini bukan tidak sering terjadi. Otakku sudah terlalu penuh dengan soal‐soal politik, sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi.
Sementara mendayung sepeda tanpa tujuan —sambil berpikir— aku sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing‐masing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri.
Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku. Aku berdiri disana sejenak memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, “Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang
ini?”.
Dia berkata kepadaku, “Saya, juragan.”
Aku bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?”.
“0, tidak, gan. Saya sendiri yang punya.”
“Tanah ini kaubeli?”.
“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun.”
Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ….. aku menggali secara mental. Pikiranku mulai
bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin bertubi‐tubi pula.
“Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ka’il kepunyaanmu juga?”
“Ya, gan”
“Dan cangkul?”
“Ya, gan.”
“Bajak?”
“Saya punya, gan.”
“Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?”
“Untuk saya, gan.”
“Apakah cukup untuk kebutuhanmu?”
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. “Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang
isteri dan empat orang anak?”
“Apakah ada yang dijual dari hasilmu?” tanyaku.
“Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual.”
“Kau mempekerjakan orang lain?”
“Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya.”
“Apakah engkau pernah memburuh?”
“Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya.”
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, “Siapa yang punya rumah itu?”
“Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri.”
“Jadi kalau begitu,” kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, “Semua ini engkau
punya?”
“Ya, gan.”
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanjy. “Marhaen.” Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku rakyat Marhaen. Selanjutnya di hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertianku yang baru. Aku memperlancarnya. Aku mempersiapkan kata‐kataku dengan hati‐hati. Dan malamnya aku memberikan indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku. “Petani‐petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali.
Mereka adalah korban dari sistem feodal, dimana pada mulanya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama dan seterusnya sampai ke anak cucunya selama berabad‐abad. Rakyat yang bukan petanipun menjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek mojangnya telah dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya. Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen.” Aku menunjuk seorang tukang gerobak, “Engkau … engkau yang di sana. Apakah engkau bekerja di pabrik untuk orang lain?”, Tidak,” katanya. “Kalau begitu engkau adalah Marhaen.” Aku menggerakkan tangan ke arah seorang tukang sate. “Engkau … engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan engkau juga seorang Marhaen.
Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat‐alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa, yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek.” Perkataan “Marhaenisme” adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami.
Begitupun nama tanah air kami harus menjadi lambang. Perkataan “Indonesia” berasal dari seorang ahli purbakala bangsa Jerman bernama Jordan, yang beladar di negeri Belanda. Studi khususnya mengenai Rantaian Kepulauan kami. Karena kepulauan ini secara geografis berdekatan dengan India, ia namakanlah “Kepulauan dari India”. Nesos adalah bahasa Yunani untuk perkataan pulau‐pulau, sehingga menjadi Indusnesos yang akhirnya menjadi Indonesia.
Ketika kami merasakan perlunya untuk menggabungkan pulau‐pulau kami rnenjadi satu kesatuan yang besar, kami berpegang teguh pada nama ini dan mengisinya dengan pengertian‐pengertian politik hingga iapun menjadi pembirnbing dari kepribadian nasional. Ini terjadi ditahun 1922‐1923. Dalam tahun‐tahun inilah, ketika kami sebagai bangsa yang dihinakan diperlakukan seperti sampah di atas bumi oleh orangyang menaklukkan kami. Karni tidak dibolehkan apa‐apa. Ditindas dibawah tumit pada setiap kali, bahkan kami dilarang mengucapkan perkataan “lndonesia”. Telah terjadi sekali ditengah berapi‐apinya pidatoku, kata “lndonesia” melompat dari mulutku. “Stop …. stop ….. “perintah polisi. Mereka meniup peluitnya. Mereka memukulkan tongkatnya. “Dilarang sama sekali mengucapkan perkataan itu …… hentikan pertemuan.” Dan pertemuan itu dengan segera dihentikan. Di Surabaya aku tak ubah seperti seekor burung yang mencari‐cari tempat untuk bersarang.
Akan tetapi di Bandung aku sudah menjadi dewasa. Bentuk fisikku berkembang dengan sewajarnya. Bintang matinee Amerika yang menjadi idaman di jaman itu adalah Norman Kerry dan, supaya kelihatan lebih tua dan lebih ganteng, aku memelihara kumis seperti Kerry. Tapi sayang, kumisku tidak melengkung ke atas pada ujung‐ujungnya seperti kumis bintang itu. Dan isteriku menyatakan, bahwa Charlie Chaplinlah yang berhasil kutiru. Akhirnya usahaku satu‐satunya untuk meniru seseorang berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan dan semua pikiran itu kemudian kulepaskan segera dari ingatan. Di tahun 1922 aku untuk pertama kali mendapat kesukaran. Ketika itu diadakan rapat besar di suatu lapangan terbuka di kota Bandung. Seluruh lapangan menghitam oleh manusia. Ini adalah rapat Radicale Concentratie, suatu rapat raksasa yang diorganisir oleh seluruh organisasi kebangsaan sehingga wakilwakil dari setiap partai yang ada dapat berkumpul bersama untuk satu tujuan, yaitu memprotes berbagai persoalan sekaligus. Setiap pemimpin berpidato. Dan aku, aku baru seorang pemuda. Hanya mendengarkan. Akan tetapi tiba‐tiba terasa olehku suatu dorongan yang keras untuk mengucapkan sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Mereka semua membicarakan omong kosong.
Seperti biasa mereka meminta‐minta. Mereka tidak menuntut. Naiklah tangan yang berapi‐api dari Sukarno, mercusuar dari Perkumpulan Pemuda, untuk minta izin ketua agar diberi kesempatan berpidato dihadapan rapat. “Saya ingin berbicara,” aku berteriak. “Silakan,” ketua berteriak kembali. Disana ada P.I.D., Polisi Rahasia Belanda, yang bersebar di segala penjuru Tepat di mukaku berdiri seorang polisi bermuka merah mengancam dan berbadan besar. Ini adalah alat yang berkuasa yaitu kulit putih. Hanya dia sendiri yang dapat menyetopku. Dia seorang dirinya, dapat membubarkan rapat. Dia seorang dirinya, dengan kekuasaan yang ada padanya dapat mencerai‐beraikan pertemuan kami dan menjebloskanku ke dalam tahanan. Akan tetapi aku masih muda, tidak mau peduli dan penuh semangat. Jadi naiklah aku ke mimbar dan mulai berteriak, “Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan‐kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan‐kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan ….. DORRR. Keseluruhan itu meletus. “Kejadian ini tidak ada bedanya dengan Gerakan Kebangsaan kita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk mencari jalan keluar bagi perasaan‐perasaan kita yang sudah penuh, maka saudara‐saudara, nyonya‐nyonya dan tuan‐tuan, suatu saat akan terjadi pula ledakan dengan kita. “Dan rnanakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara. Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolanial yang membendung perasaan kita.
Dari sudut mataku aku melihat Komisaris Polisi itu menuju ke depan untuk mencegahku terus berbicara, akan tetapi aku begitu bersemangat dan menggeledek terus. “Apa gunanya kita puluhan ribu banyaknya berkumpul disini jikalau yang kita kerjakan hanya menghasilkan petisi? Mengapa kita selalu merendah diri memohon kepada ‘Pemerintah’ untuk meminta kebaikan hatinya supaya mendirikan sebuah sekolah untuk kita? Bukankah itu suatu Politik Berlutut? Bukankah itu suatu politik memohon dengan mendatangi Yang Dipertuan Gubernur Djendral Hindia Belanda, yang dengan rnemakai dasi hitam menerima delegasi yang membungkuk‐bungkuk dan menunjukkan penghargaan kepadanya dan menyerahkan kepada pertimbangannya suatu petisi? Dan merendah diri memohon pengurangan pajak? Kita merendah diri …memohon, merendah diri, memohon ….. Inilah kata‐kata yang selalu dipakai oleh pemimpin‐pemimpin kita. “Sampai sekarang kita tidak pernah menjadi penyerang. Gerakan kita bukan gerakan yang mendesak, akan tetapi gerakan kita adalah gerakan yang meminta‐minta. Tak satupun yang pernah diberikannya karena kasihan. Marilah kita sekarang menjalankan politik percaya pada diri sendiri dengan tidak mengemis‐ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita berteriak, “Tuan Imperialis, inilah yang kami TUNTUT ! “Kemudian, polisi‐polisi yang maha kuasa dan maha kuat ini, yang punya kekuasaan untuk menghentikan rapat ini, bertindak. Mereka menyetop rapat dan menyetopku. Heyne, Kepala Polisi Kota Bandung, sangat marah. Sambil menyiku kanan‐kiri melalui rakyat yang berdiri berjejal‐jejal, ia melompat ke atas mimbar, menarikku ke bawah dan mengumumkan, “Tuan Ketua, sekarang saya menyetop seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan‐tuan semua dibubarkan. Sernua pulang sekarang. KELUAR !”. Begitu pertama kali Sukarno membuka mulutnya, ia segera harus berhubungan dengan hukum. Dengan cepat aku mendadi buah tutur orang dan setiap orang mengetahui nama Sukarno. Aku memperoleh inti pengikut yang kuat. Akan tetapi, sayang, akupun mengembangkan pengikut yang banyak diantara polisi Belanda. Kemanapun aku pergi mereka ikuti. Maka menjalarlah dari mulut ke mulut: “Di Sekolah Teknik Tinggi ada seorang pengacau. Awasi dia.”
Dengan satu pidato si Karno —yang pendiam, yang suka menarik diri dan dicintai membuat musuh‐musuh jadi geger dan selama 20 tahun kemudian aku tak pernah dicoret dari daftar hitam mereka. Prestasiku yang pertama ini menimbulkan kegemparan hebat, sehingga aku segera dipanggil ke kantor Presiden universitas. “Kalau engkau ingin melanjutkan pelajaran disini,” Professor Klopper memperingatkan, Engkau harus bertekun pada studimu. Saya tidak keberatan jika seorang mahasiswa mempunyai cita‐cita politik, akan tetapi haruslah diingat bahwa ia pertama dan paling utama memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Engkau harus berjanji, mulai hari ini tidak akan ikut campur dalam gerakan politik. “Aku tidak berdusta kepadanya. Aku menerangkan persoalanku dengan jujur. “Professor, apa yang akan saya janjikan ialah, bahwa saya tidak akan melalaikan pelajaran‐pelajaran yang tuan berikan dalam kuliah.” Bukan itu yang saya minta kepadamu.” Hanya itu yang dapat saya jandjikan, Professor. Akan tetapi janji ini, saya berikan dengan sepenuh hati. Saya berjanji dengan kesungguhan hati untuk menyediakan lebih banyak waktu pada studi saya.” Ia sangat baik mengenai hal ini. “Apakah kata‐katamu dapat saya pegang, bahwa engkau akan berhenti berpidato dalam rapat umum selama masih dalam studi?” “Ya, Professor,” aku berjanji, “Tuan memegang ucapan saya yang sungguh‐sungguh. “Dan janji ini kupegang teguh. Berbicara di hadapan massa bagiku lebih daripada segala‐galanya untuk mana aku hidup. Oleh karena aku tidak dapat berbicara membangkitkan semangat rakyat jelata dalam keadaan sesungguhnya maka kulakukanlah ini dalam khayalan. Pada suatu malam rumah Inggit yang disediakan juga untuk bayar makan penuh dan kami terpaksa membagi tempat. Aku membagi tempat tidurku dengan seorang pelajar.
Di tengah malam aku diserang oleh suatu desakan untuk berpidato dengan nafsu yang bernyala‐nyala, seakan‐akan aku berbicara dihadapan 10.000 orang yang bersorak‐sorai dengan gegap gempita. Sambil berdiri tegak aku menganggap tempat tidurku sebagai mimbar dan aku mulai menggegap geletar. “Engkau tahu apakah Indonesia?” aku berteriak ke punggung temanku setempat tidur. “Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat ini.” Saudara‐saudaraku yang tercinta, laut yang menderu memukul‐mukul ke pantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergerak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak‐anak ketawa, aku mendengar Indonesia.
Manakala aku menghirup bunga‐bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku. “Setelah beberapa jam mendengarkan perkataanku yang membakar hati, Djoko Asmo lebih memerlukan tidur daripada mendengarkan golakan perasaanku. Jam dua tengah malam dia tertidur nyenyak ditengahtengah pidatoku yang mencacau. Aku kehabisan tenaga sama sekali sehingga ditengah pidato pembelaanku yang bersemangat akupun terhempas lena. Esok paginya kami baru tahu, bahwa kami lupa mematikan lampu. Kelambu kami hampir hangus sama sekali. Lampu itu menyala sepanjang malam sampai menjilat ke bagian bawah dan kami kedua‐duanya hampir kelemasan oleh udara dan asap yang hebat. Tapi untunglah. Kami tidak turut terbakar. Terpikir olehku, kalau seseorang hendak menjadi Juru selamat daripada bangsanya di kemudian hari untuk membebaskan rakyatnya, haruslah ia menyelamatkan dirinya sendiri lebih dulu. Aku masih terlalu banyak mencurahkan waktu untuk pemikiran politik, jadi tak dapatlah diharapkan akan menjadi mahasiswa yang betul‐betul gemilang. Kenyataan bahwa aku masih dapat melintasi batas nilai sedang sungguh mengherankan. Siapa yang belajar? Bukan aku. Tidak pernah. Aku mempunyai ingatan seperti bayangan gambar dan dalam pada itu aku terlalu sibuk memompakan soal‐soal politik ke kepalaku, sehingga tidak tersisa waktuku untuk membuka buku sekolah. Dewi dendamku adalah ilmu pasti. Aku tidak begitu kuat dalam ilmu pasti.
Menggambar arsitektur bagiku sangat menarik, akan tetapi kalkulasi bangunan dan komputasi jangan tanya. Kleinste Vierkanten atau yang dinamakan Geodesi, semacam penyelidikan tanah secara ilrnu pasti dimana orang mengukur tanah dan belajar membaginya dalam kaki persegi, dalam semua ini aku gagal. Untuk ujian ilmu pasti kuakui, bahwa aku bermain curang. Tapi hanya sedikit. Kami semua bermain curang dengan berbagai jalan. Ambillah misalnja pelajaran menggambar konstruksi bangunan. Aku kuat dalam pelajaran ini. Dalam waktu ujian dosen berdalan pulang‐balik diantara meja‐meja memperhatikan setiap orang. Segera setelah ia berada di bagian lain dalam ruangan ketika menghadapkan punggungnya pada kami, salah seorang yang berdekatan mendesis, “Ssss, Karno, buatkan bagan untukku, kau mau?”
Aku bertukar kertas dengan dia. dengan terburu‐buru membuat gambar yang kedua dan dengan cepat menyerahkan kembali kepadanya. Kawan‐kawanku membalas usaha ini dalam pelajaran Kleinste Vierkanten kalau Professor membuat tiga pertanyaan di papan tulis dan hanya memberi kami waktu 45 menit untuk mengerjakannya. Kawan‐kawan menempatkan kertasnya sedemikian rupa di sudut bangku, sehingga aku dapat dengan mudah menyalin jawabannya. Sudah tentu aku mencontoh dari mahasiswa yang lebih pandai dalam ilmu pasti.
Cara ini bukanlah semata‐mata apa yang dinamakan orang berbuat curang. Di Indonesia ini adalah wajar jika digolongkan dalam apa yang kami sebut kerja‐sama yang erat. Gotong‐royong. Alasan mengapa aku gagal dan hanya memperoleh nilai tiga adalah karena pada suatu kali sang Professor melakukan taktik licik terhadap kami. Ia mengejutkan kami dengan ujian lisan, dimana kami menempuhnya satu persatu.
Hanya Professor dan seorang mahasiswa yang ada dalam ruangan. Aku karenanya jatuh.Semua kuliah diajarkan dalam bahasa Belanda. Aku berpikir dalam bahasa Belanda. Bahkan sekarangpun aku memakimaki
dalam bahasa Belanda. Kalau aku mendoa kehadirat Tuhan Yang MahaKuasa, maka ini kulakukan dalam bahasa Belanda. Kurikulum kami disesuaikan menurut kebutuhan masyarakat penjajahan Belanda.
Pengetahuan yang kupelajari adalah pengetahuan teknik kapitalis. Misalnya, pengetahuan tentang sistem irigasi. Yang dipelajari bukanlah tentang bagaimana caranya mengairi sawah dengan jalan yang terbaik. Yang diberikan hanya tentang sistem pengairan tebu dan tembakau. Ini adalah irigasi untuk kepentingan Imperialisme dan Kapitalisme. Irigasi dipelajari tidak untuk memberi makan rakyat banyak yang kelaparan, akan tetapi untuk membikin gendut pemilik perkebunan. Pelajaran kami dalam pembuatan jalan tidak mungkin dapat menguntungkan rakyat. Jalan‐jalan yang dibuat bukan melalui hutan dan antar‐pulau sehingga rakyat dapat berjalan atau bepergian lebih mudah. Kami hanya diajar merencanakan jalan‐jalan tambahan sepanjang pantai dari pelabuhan ke pelabuhan, jadi pabrik‐pabrik dengan demikian dapat mengangkut hasilna secara maksimal dan komunikasi yang cukup antara kapalkapal yang berlayar. Ambillah ilmu pasti. Universitas manapun tidak memberi pelajaran rantai ukuran.
Kami diberi. Ini adalah sebuah pita yang panjangnya 20 meter yang hanya dipakai oleh para pengawas di perkebunan‐perkebunan.
Diruangan bagan, kalau kami membuat rencana kota teladan, kamipun harus menunjukkan tempat kedudukan “Kabupaten”, yaitu tempat tinggal Bupati yang mengawasi rakyat desa membanting tulang.
Di minggu terakhir ketika diadakan pelantikan aku mempersoalkan ini dengan Rector Magnificus dari
Sekolah Teknik Tinggi ini, Professor Ir. G. Klopper M.E. “Mengapa kami diisi dengan pengetahuanpengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi Kolonial terhadap kami?” tanyaku. “Sekolah Teknik Tinggi ini,” ia menerangkan, didirikan terutama untuk memajukan politik Den Haag di Hindia. Supaya dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah saya merasa perlu untuk
mendidik lebih banyak insinyur dan pengawas yang berpengalaman.”Dengan perkataan lain, kami mengikuti perguruan tinggi ini untuk memperkekal polilik Imperialisme Belanda disini?”Ya, tuan Sukarno, itu benar,” ia menjawab. Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghancurkan kekuasaan Kolonial, rupanya aku harus berterima‐kasih pula kepada mereka atas pendidikan yang kuterima. Dengan dua orang kawan bangsa Indonesia yang berhasil bersama‐sama denganku, maka pada tanggal 25 Mei 1926 aku memperoleh promosi dengan gelar “Ingenieur”. Ijazahku dalam jurusan teknik sipil menentukan, bahwa aku adalah seorang spesialis dalam pekerjaan jalan raya dan pengairan. Aku sekarang diberi hak untuk menuliskan namaku: Ir. Raden Soekarno. Ketika ia memberi gelar sarjana teknik kepadaku, Presiden universitas berkata, “Ir. Sukarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu‐satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati.” Aku tak pernah melupakan kata‐kata ini.